ASAL
USUL DESA PESAREAN
PESAREAN asal mula dari kata
‘saré’ artinya ‘tidur’. Setelah mendapat awalan ‘pe’ dan akhiran ‘an’ menjadi
‘pesarèan’, artinya tempat tidur. Tapi di sini, kata ‘pesarèan’ bukan berarti
peraduan. Bukan juga bersifat sementara tapi memiliki arti abadi. Belum lagi
jika kata itu diucap dan dipakai oleh kaum bangsawan, akan mempunyai kedudukan
lebih santun sebagai sebuah penghargaan bagi seorang raja yang sudah wafat.
Itulah tempat pemakaman yang dimaksud di sini, dari kata ‘pesarean’.
Pesarean adalah sebuah desa yang ada di
wilayah Kecamatan Adiwerna, Kabupaten Tegal. Di daerah itu ada sebuah makam
induk, didalamnya terbaring jasad Raja Mataram Amangkurat I. Bagaimana
asal-muasal makam itu ada, dan kenapa Amangkurat I memisahkan diri dari makam
Raja-raja Jawa, memilih dikubur di sana?
Inilah kisahnya.
Sekitar abad 16 punjul,
tlatah Mataram bergolak. Kekacauan terjadi dimana-mana. Pangeran Trunojoyo yang
mendendam kesumat, mengincar tahta raja setelah kemudian Sultan Agung meninggal
dunia. Dari bilangan tahun, kesumat Trunojoyo pada Mataram begitu menggelegak.
Sultan Agung semasa berkuasa menjadi raja, tidak sedikit raja-raja kecil di
Pulau Jawa ditumpas dan dikuasai. Ketamakan yang senantiasa diumbar Sultan
Agung, menjadikan gumpalan-gumpalan sakit hati Trunojoyo semakin mengerak. Dan
memang agaknya, yang namanya tahta raja selalu membius siapa saja meski berbau
anyir darah. Amangkurat I yang kemudian menggantikan kedudukan Sultan Agung
sebagai Raja Mataram, dibikin kocar-kacir dengan pemberontakan Trunojoyo.
Dengan kekuatan laskarnya, kekuasaan Amangkurat I diharu-biru. “Hancurkan
Mataram! Bunuh Sinuhun Amangkurat. Tumpas!” teriak Trunojoyo dalam medan
kegilaan kekisruhan peperangan.
Bala-bala laskar
Trunojoyo semakin ganas. Daerah-daerah Kerajaan Mataram dikuasai, menyebabkan
Amangkurat I kewalahan menghadapi Trunojoyo. Akhirnya menyingkir ke Keraton
Plered. Bersama sanak keluarga dan para pangeran dan adipati, mereka boyongan
ke arah barat menyebrangi sungai Bogowonto melalui hutan dan rawa-rawa. Diikuti
Pangeran Puger keponakannya, Adipati Anom (Amangkurat II), Pangeran Martosono,
Pangeran Singosari dan Raden Topo yang masih kecil. Tibalah mereka di Desa
Kawisanya (Kabupaten Kebumen sekarang).
Di daerah itu, mereka
dirampok oleh orang-orang Kawisanya. Namun para perampok dengan mudah
dilumpuhkan. Mereka kemudian melanjutkan perjalanan melalui Banyumas untuk
bermalam di Desa Ajibarang. Di Ajibarang, Amangkurat I yang sudah mulai
sakit-sakitan memerintahkan kepada Pangeran Puber agar merebut kembali Kerajaan
Mataram dari tangan Trunojoyo. Titah raja semacam ini, membuat Adipati Anom
kemudian mutung dan dia berniat menunaikan ibadah haji. Tapi dibatalkan
mengingat ayahandanya dalam keadaan sakit-sakitan.
Dengan berbekal warisan
senjata tombak dan sebilah keris dari Amangkurat I, berangkatlah Puger menuju
Mataram. Senjata itu dikenal dengan sebutan Ki Plered dan Ki Maesonular. Pada
saat itu, Puger ditemani Raden Topo. Dia dijanjikan menjabat sebagai Bupati
Pati apabila kelak Trunojoyo gugur. Peperangan antara Trunojoyo dan Puber
demikian dasyat. Berbilang waktu mereka bertempur habis-habisan dengan berbagai
taktik dan siasat. Sampai kemudian saatnya tiba, Adipati Anom yang masih
penasaran ingin meleyapkan Trunojoyo. Dengan dipanas-panasi para pangeran dan
adipati, dia berpamitan pada ayahanda menuju tlatah Mataram bersamaan Adipati
Martoloyo. Sialnya, ketika sampai di Mataram mereka tak menjumpai Trunojoyo.
Yang mereka dapati, Puger telah menjadi Raja Mataram. Betapa kecewa dan marahnya
Adipati Anom melihat kenyataan itu. Putra mahkota Amangkurat I yang seharusnya
menjadi raja Mataram, gigit jari. Dendam pun kian memuncak ingin menghabisi
Puger. Dengan tangan hampa, Adipati Anom kembali dan untuk sementara waktu dia
bertahta di wilayah Kraton Tegal. Tapi ambisi merebut Kerajaan Mataram dari
tangan Puger, tak pernah padam. Dendam kesumat yang dipupuknya terus bergolak. Amangkurat
I yang melihat kekecewaan Adipati Anom, meminta bantuan kepada Belanda lewat
VOC. Tidak heran kalau kemudian Adipati ini mendapat sebutan Amangkurat Admiral
karena seringnya juga bertemu dengan Angkatan Laut berpangkat Admiral.
Peperangan antara
Pangeran Puger dan Adipati Anom tak terhidarkan lagi. Kedua kakak beradik dari
tunggal cucu, adu kesaktian. Mereka bertempur karena ambisinya pada kekuasaan.
Adipati Anom yang merasa sebagai putra mahkota Amangkurat I berhak menduduki
tahta raja, sementara Pangeran Puger yang merasa telah melenyapkan Tronojoyo,
juga berhak mengambil alih kedudukan Amangkurat I sebagai raja di Mataram. Karena
saling mempertahankan prinsip, keduanya bertempur habis-habisan. Tapi keduanya
sama-sama sakti dan tak satupun terkalahkan. Akhirnya muncullah Perjanjian
Giyanti th 1677 dan Mataram dipecah menjadi dua kerajaan antara Kasultanan Solo
dan Mataram. Sementara itu, di tempat pengasingan Desa Pasaranom, sakitanya
Amangkurat I semakin parah. Hari demi hari sakitnya tak tersembuhkan, bahkan
semakin menghebat.
Akhirnya Amangkurat I
meninggal dunia. Sebelum meninggal, dia berpesan agar jenazahnya dimakamkan di
Desa Tetegil di dataran tinggi yang berbau harum. Wasiat itu diwujudkan.
Amangkurat I dimakamkan di wilayah Tegal Arum. Sekarang, orang menyebut daerah
itu sebagai wilayah pesarean yang dalam perkembangan berikutnya menjadi sebuah
nama desa. Itulah asal muasal lahirnya Desa Pesarean! (*)