MAKALAH
HAK
DALAM ISLAM
Disusun Untuk
Memenuhi Tugas Mata Kuliah Muawadhat Maliyah
Disusun Oleh :
1. Ardinata ( 141403005 )
2. Masturoh ( 141403012 )
3. Nadiya
Nuramaliya ( 141403015 )
Dosen Pengampu :
Moh. Koidin, M.S.I.
PROGRAM
STUDI EKONOMI DAN BISNIS SYARIAH
SEMESTER
VI
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM BAKTI NEGARA
(STAIBN) TEGAL
TAHUN AKADEMIK 2016/2017
BAB I
PENDAHULUAN
Hak dan
kewajiban adalah sesuatu yang tidak bisa dilepaskan dari kehidupan
manusia. Ketika mereka berhubungan dengan orang lain, maka akan timbul hak dan
kewajiban yang mengikat keduanya. Dalam hal jual beli misalnya, ketika
kesepakatan telah tercapai, maka akan muncul hak dan kewajiban. Yakni, hak
pembeli untuk menerima barang, dan kewajiban penjual untuk menyerahkan barang.
Atau kewajiban pembeli untuk menyerahkan harga barang (uang), dan hak penjual
untuk menerima uang. Dalam konteks ini, akan dibahas segala sesuatu yang
terkait dengan hak.
Dalam konteks
ibadah (yang merupakan hak Allah), hak ini dilindungi dengan nilai-nilai agama,
seperti janji Allah akan nikmat surga bagi yang menjalankan ibadah-Nya, atau
juga berupa ancaman neraka bagi yang meninggalkannya. Di samping itu, terdapat
lembaga hisbah yang berfungsi untuk menjalankan amar
ma'ruf nahi mungkar.
Dalam pandangan
islam yang menjadi pemilik hak adalah Allah SWT, baik yang menyangkut hak
keagamaan, pribadi atau hak secara hukum. Dalam fiqh disebut Asy-syakhsyiah
al ‘itibaniyah
Dalam makalah
ini penulis akan membatasi permasalahan yang akan dipaparkan yaitu sebagai
berikut:
1.
Apa pengetian
Hak?
2.
Bagaimana sumber
atau penyebab terjadinya Hak?
3.
Dan bagaimana
akibat hukumnya dari suatu Hak?
BAB II
PEMBAHASAN
Dalam
kamus bahasa Indonesia terdapat berbagai sinonim dari kata hak, seperti milik,
kewenangan, kekuasaan untuk berbuat sesuatu. Sedangkan menurut istilah hukum
umum, pengertian hak dalam hukum
adalah kekuasaan untuk melakukan sesuatu karena telah ditentukan oleh
undang-undang atau peraturan lain.[1]
Kata
Hak berasal dari bahasa Arab al-haqq, yang secara etimologi
mempunyai beberapa pengertian yang berbeda, diantaranya berarti milik, ketetapan dan kepastian.[2]
Dalam bahasa Arab juga
terdapat banyak arti dari kata hak, seperti ketetapan yang pasti, penjelasan,
kebenaran, jatah atau bagian, hakikat, dan kewajiban. Seperti terdapat dalam Al-Qur’an surah Yasin ayat 7:[3]
“Sesungguhnya
telah pasti berlaku perkataan (ketentuan) Allah
terhadap
kebanyakan mereka, karena mereka tidak beriman”.[4]
Al-Haqq
diartikan juga dengan menetapkan dan menjelaskan sebagaimana tercantum dalam
surah al-Anfal, ayat 8:[5]
“Agar Allah menetapkan yang hak
(Islam) dan membatalkan yang bathil (syirik) ...[6]
Al-Haqq diartikan juga
dengan bagian (kewajiban) yang terbatas seperti tercantum dalam surat al-Baqarah
ayat 241:[7]
“Kepada wanita-wanita yang
diceraikan (hendaklah diberikan oleh suaminya mut’ah) menurut yang makruf
sebagai suatu kewajiban bagi orang-orang yang takwa”.[8]
Al-Haqq
diartikan
juga dengan kebenaran sebagai lawan dari kebathilan seperti tercantum dalam
Alqur’an surat Yunus ayat 35:[9]
.
“Katakanlah: “Apakah di antara
sekutu-sekutumu ada yang menunjuki kepada kebenaran?...[10]
Dalam terminologi fiqih terdapat beberapa pengertian hak yang dikemukakan para ulama fiqh. diantaranya adalah:[11]
“Suatu hukum yang telah
ditetapkan secara syara’”
Definisi ini dikemukakan sebagian
ulama mutaakhirin (generasi belakangan) Al Syaikh ‘Ali al-Khafif, tokoh fiqh
asal Mesir, mendefinisikannya
dengan:[12]
“Kemaslahatan yang diperoleh
secara syara’”
Mustofa Akhmad az-Zarqa,
mendefinisikannya dengan:[13]
“Suatu kekhususan yang padanya
ditetapkan syara’ suatu kekuasaan”
Lebih singkat lagi, Ibnu Nujaim, tokoh fiqh Hanafi,
mendefinisikannya dengan:[14]
ٌ
“Suatu kekhususan
yang terlindung”
Menurut Wahbah al-Zuhaili,
pakar fiqh kontemporer dari Syria, definisi yang komprehensif adalah yang
dikemukakan oleh Ibn Nujaim dan Mustofa Akhmad az-Zarqa di atas karena kedua
definisi itu mencakup berbagai macam hak, seperti Hak Allah terhadap hambaNya
(Sholat, puasa, dan lain-lain), hak-hak yang menyangkut perkawinan, hak-ak
umum, seperti hak-hak negara, hak-hak harta kebendaan, dan hak-hak non materi
seperti hak perwalian atas seseorang.[15]
Berdasarkan definisi yang
dikemukakan para ulama fiqh di atas, sumber hak itu adalah syara’, yaitu Allah
SWT, karena Dia-lah al-Hakim (pembuat
hukum) dan dari-Nyalah datangnya syariat. Oleh sebab itu, hak itu tidak
bersumber dari manusia ataupun dari alam.
Sebelum manusia memulai
kehidupannya secara bermasyarakat dan belum tumbuh hubungan antara seorang
dengan yang lain, maka belum ada pula yang kita namakan hak. Setiap manusia hidup bermasyarakat, bertolong-menolong dalam
menghadapi berbagai macam kebutuhan. Untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan itu, seseorang
perlu mencari apa yang dibutuhkannya, dari alam atau dari milik orang lain.
Maka untuk memelihara kepentingan masing-masing perlu ada norma yang mengatur
sehingga tidak melanggar hak orang lain, dan tidak pula merenggut kemerdekaan
orang lain.
Nadhariyatul
hak atau fikriyatul hak, adalah tata aturan yang mengatur penghidupan manusia.
Segenap syariat masa yang telah lalu kemudian diakhiri oleh syariat Islam
mengadakan aturan-aturan untuk menentukan hak tersebut. Fiqih Islam telah
menetapkan beberapa aturan, beberapa hukum, baik yang merupakan dasar maupun
yang merupakan cabang dengan cara yang sangat sempurna yang belum pernah
dikenal oleh tasyri’-tasyri’ yang lain.[16]
Para ulama fiqh mengemukakan
bahwa rukun hak itu ada dua, yaitu pemilik hak (orang yang berhak) dan objek
hak, baik sesuatu yang bersifat materi maupun hutang. Yang menjadi pemilik hak,
dalam pandangan syariat Islam adalah Allah Ta’ala, baik yang menyangkut hak-hak
keagamaan, hak-hak pribadi, atau hak-hak secara hukum, seperti perserikatan dan
yayasan, yang dalam istilah fiqh disebut dengan asy-syakhshiyyah
al-i’tibariyyah. Seorang manusia, menurut ketetapan syara’, telah memiliki
hak-hak pribadi sejak ia masih janin dan hak-hak itu dapat dimanfaatkannya
dengan penuh apabila janin lahir ke dunia dengan selamat. Hak-hak pribadi yang
diberikan Allah ini akan habis dengan wafatnya pemilik hak.[17]
Para ulama fiqh sepakat
menyatakan bahwa sumber atau penyebab adanya hak itu adalah syara’. Syaralah
yang menjadi sumber asli segala hak dan syara’lah yang menyebabkan seseorang
memiliki hak. Namun demikian, ada kalanya syara menetapkan hak-hak itu secara
langsung tanpa adanya sebab, seperti perintah untuk melaksanakan berbagai
ibadah, perintah untuk memberikan nafkah kepada kerabat, larangan untuk
melakukan berbagai bentuk tindak pidana, larangan untuk mengkonsumsi yang
diharamkan syara, dan kebolehan untuk memanfaatkan seluruh yang baik. Di
samping itu, syara juga menetapkan hak melalui suatu sebab. Artinya, ada sebab
yang melatarbelakangi syara’ untuk menetapkan suatu hak. Akibat dari perkawinan
ini muncullah hak dan kewajiban membayar nafkah. Istri mempunyai hak untuk
dinafkahi suaminya, muncul pula hak waris mewarisi antar suami dan istri, dan
lain sebagainya.[18]
Sebelumnya telah dijelaskan
bahwa syariat dan aturan hukum merupkan sumber adanya suatu hak. Keduanya
sekaligus merupakan sumber utama iltizam, sedangkan sumber yang lain adalah
sebagai berikut:[19]
1. Aqad, yaitu kehendak kedua belah
pihak (iradah al-aqidain) untuk
melakukan suatu kesepakatan (perikatan), seperti akad jual beli, sewa menyewa
dan lainnya.
2. Iradah al-munfaridah (kehendak sepihak, one side), seperti ketika seseorang
mengucapkan sebuah janji atas nazar.
3. Al-fi’lun nafi’ (perbuatan yang
bermanfaat), misalnya ketika seseorang melihat orang lain dalam kondisi yang
sangat membutuhkan bantuan atau pertolongan, maka ia wajib berbuat sesuatu
sebatas kemampuannya.
4. Al-fi’lu adl-dlarr (perbuatan yang
merugikan), seperti ketika seseorang merusak, melanggar hak atau kepentingan
orang lain, maka ia terbebani iltizam atau kewajiban tertentu.
Iltizam adakalanya berlaku atas
harta benda (al-maal), terhadap hutang (ad-dain), dan terhadap perbuatan
(al-fiil). Iltizam terhadap harta benda harus dipenuhi dengan menyerahkan harta
benda kepada shahibul haq. Seperti keharusan penjual menyerahkan barang kepada
pembeli dan keharusan pembeli menyerahkan uang kepada penjual.
Iltizam terhadap hutang, pada
prinsipnya harus dipenuhi oleh orang yang berhutang secara langsung. Namun dalam kondisi tertentu, hukum Islam memberikan
alternatif lain, yakni menggunakan akad hawalah dan kafalah. Iltizam atas suatu
perbuatan harus dipenuhi melalui perbuatan yang menjadi mahallul iltizam.
Seperti kewajiban seorang pekerja dalam akad ijarah, harus dipenuhi dengan
melakukan pekerjaan tertentu, dan lainnya.[20]
Pada prinsipnya, Islam
memberikan jaminan perlindungan hak bagi setiap orang. Setiap pemilik hak boleh menuntut pemenuhan haknya. Apabila terjadi pelanggaran atau pengrusakan hak, maka
pemilik hak dapat menuntut ganti rugi atau kompensasi yang sepadan dengan
haknya.[21]
1. Menyangkut pelaksanaan
dan penuntutan hak.
Dalam persoalan hak Allah yang berkaitan
dengan persoalan ibadah, seseorang harus menunaikannya sesuai dengan
ketentuan-ketentuan Allah. Apabila seseorang tidak mau menunaikan hak Allah itu
dan hak itu terkait dengan persoalan harta, seperti zakat, maka hakim
(penguasa) berhak untuk memaksanya menunaikan zakat. Jika hak Allah itu tidak
terkait dengan persoalan harta, maka hakim (penguasa) harus mengajak orang itu
untuk menunaikan hak itu dengan menempuh berbagai cara. Jika orang itu tetap
tidak mau menunaikan hak Allah itu, Allah akan menurunkan cobaan-cobaan-Nya di
dunia ini dan di akhirat ia akan disiksa.
Dalam persoalan hak manusia penunaiannya
dilakukan dengan cara mengambilnya dan membayarkannya kepada orang yang berhak
menerimanya (pemilik hak). Misalnya, jika seseorang mencuri harta orang lain,
maka pencuri itu harus mengembalikan harta itu jika masih utuh atau
menggantinya dengan nilai harta itu, jika harta yang dicuri tidak utuh
lagi.Yang terpenting dalam kasus seperti ini, menurut para ulama fiqh adalah
sifat keadilan dalam pengembalian hak, sehingga masing-masing pihak tidak
dirugikan.
2. Menyangkut pemeliharaan
hak
Para ulama fiqh menyatakan bahwa syariat
Islam telah menetapkan agar setiap orang berhak untuk memelihara dan menjaga
haknya itu dari segala bentuk kesewenangan orang lain, baik yang menyangkut
hak-hak kepidanaan maupun hak-hak keperdataan. Apabila harta seseorang dicuri,
maka ia berhak menuntut secara pidana dan secara perdata. Tuntutan secara
pidana dengan melaksanakan hukuman potong tangan, dan secara perdata menuntut
agar harta yang dicuri itu dikembalikan, jika masih utuh dan dan mengganti yang
senilai dengan harta yang dicuri jika harta itu telah habis.
3. Menyangkut penggunaan
hak
Para ulama fiqh menyatakan bahwa hak itu
harus digunakan untuk hal-hal yang disyariatkan Islam. Atas dasar itu,
seseorang tidak boleh menggunakan haknya apabila dalam penggunaan hak itu
merugikan atau memberi mudharat kepada pihak lain. Di samping itu, pemilik hak
tidak boleh menggunakan haknya secara mubazir. Apabila seseorang membangun
rumah di lahannya sendiri, maka bangunan yang akan didirikannya itu tidak boleh
sampai menghalangi udara dan cahaya yang masuk ke rumah jirannya, dia tidak
boleh membuat jendela apabila berhadapan dengan jendela itu kamar mandi
jirannya, atau rumah yang dibangun itu menutup lalu lintas masyarakat untuk
sampai ke rumahnya masing-masing, sekalipun jalan itu adalah lahannya.
Perbuatan-perbuatan yang memberi mudharat kepada
orang lain, sengaja atau tidak, di dalam fiqh disebut sebagai ta’assuf fi isti’mal al-haqq
(sewenang-wenang dalam menggunakan hak). Hal tersebut dilarang oleh
syara’.Apabila seseorang menggunakan sesuatu yang bukan haknya, tidak dinamakan
dengan ta’assuf fi isti’mal al-haqq, tetapi
disebut dengan ta’addi.
Keharaman ta’assuf fi isti’mal al-haqq, menurut para ulama fiqh, disebabkan
dua hal, yaitu:[23]
1)
Setiap
orang tidak boleh menggunakan haknya dengan sewenang-wenang, sehingga membawa
mudharat bagi orang lain. Oleh sebab itu, penggunaan hak itu dalam syariat
Islam tidak bersifat mutlak, tetap dibatasi. Batasannya adalah tidak memberi
mudharat kepada pihak lain, baik perorangan maupun masyarakat.
2)
Penggunaan
hak-hak pribadi tidak hanya untuk kepentingan pribadi belaka, tetapi juga harus
mendukung hak-hak masyarakat, karena kekayaan yang dimiliki seseorang merupakan
bagian dari kekayaan seluruh manusia. Bahkan dalam keadaan-keadaan tertentu hak-hak
pribadi boleh diambil atau dikurangi untuk membantu hak-hak masyrakat, seperti
p
3)
engambilan
zakat, sedekah, pajak dan infak lainnya. Dalam sebuah hadis Rasulullah saw.
Menyatakan:
“Dalam setiap
harta seseorang itu terdapat hak-hak masyarakat
(orang lain) selain zakat”.(HR
at-Tirmizi).
Atas dasar itulah, para ulama fiqh
menetapkan beberapa kaidah fiqh yang terkait dengan penggunaan hak itu.
Kaidah-kaidah dimaksud antara lain:[24]
a.
Maksud membuat kemudharatan
Jika seseorang
dalam menggunakan haknya berakibat mudharat kepada pihak lain, maka
perbuatannya itu merupakan perbuatan sewenang-wenang dan hukumnya haram,
sebagaimana dalam kasus rujuk, wasiat, dan menyusui anak yang memberi mudharat.
Atas tindakan ini, menurut para ulama fiqh, konsumen hak secara ta’assuf itu boleh dikenai hukuman
ta’zir oleh hakim.
b.
Melaksanakan suatu tindakan yang
tidak disyariatkan
Apabila
seseorang melaksanakan suatu perbuatan yang tidak disyariatkan dan tidak sesuai
dengan kemaslahatan yang ingin dicapai dalam penggunaan hak itu, maka tindakan
itu harus dicegah.Jika dilakukan juga, maka hukumnya haram.Misalnya, seseorang
mengeksploitasi akad nikah untuk menghalalkan nikah tahlil, sedangkan tujuannya
bukanlah untuk nikah secara langgeng.Tetapi, hanya sekedar menghalalkan suami
pertama rujuk kepada istrinya yang telah ditalak tiga kali. Tindakan ini
diharamkan, sebagaimana sabda Rasulullah saw. yang
bunyinya:
“Allah melaknat orang yang melakukan nikah tahlil
dan yang memanfaatkan nikah tahlil”.(HR
Ahmad ibn Hanbal, at-Tirmizi, an-Nasa I Abu Dawud dan Ibn Majah dari ‘Abdullah
ibn Mas’ud).
Demikian
juga halnya, dengan memanipulasi akad jual beli untuk tujuan riba. Hal ini juga
hukumnya haram sesuai dengan sabda Rasulullah saw. Yang menyatakan:
Suatu saat akan datang suatu zaman, di mana manusia
menghalalkan riba dengan kedok jual beli.”(HR
Ahmad ibn Hanbal dan Abu Daud dari ‘Abdullah ibn ‘Umar)
c.
Munculnya kemudharatan yang lebih
besar ketika menggunakan hak untuk mencapai suatu kemaslahatan.
Jika
seseorang pemilik hak menggunakan haknya untuk memperoleh kemaslahatan
pribadinya, tetapi akibatnya menimbulkan kemudharatan yang besar kepada pihak
lain atau kemaslahatan itu sebanding dengan kemudharatan yang ditimbulkannya,
baik kemudharatan itu mengenai hak-hak masyarakat maupun hak-hak pribadi, maka
tindakan ini harus dicegah. Hal ini sejalan dengan sabda Rasulullah saw. Yang
menyatakan:
“Tidak boleh memudharatkan (orang lain) dan tidak
boleh pula dimudharatkan (orang lain)”.(HR
Ibn Majah dan al-Daruqutni).
Contohnya
seperti praktik ihtikar (penimbunan
barang dagangan dengan tujuan menjualnya apabila harga sudah naik, sementara
masyarakat sangat memerlukan barang itu)
Termasuk
perbuatan yang memberi mudharat kepada masyarakat ini adalah menjual senjata
kepada pihak musuh ketika terjadinya perang, menjual senjata kepada perampok,
dan menjual anggur kepada pengelola pabrik minuman keras.Dalam kasus-kasus
seperti ini, menurut para ulama fiqh, pihak pemerintah berkewajiban untuk
mencegah terjadinya hal-hal itu. Hal ini sesuai dengan kaidah fiqh yang
menyatakan:
“Tindakan seorang penguasa senantiasa untuk kepentingan warganya”.
d.
Penggunaan hak tidak pada
tempatnya, sehingga menimbulkan kemudharatan bagi orang lain. Misalnya, membunyikan radio, tape, televisi dengan
keras, sehingga mengganggu istirahat jiran, menyewakan rumah untuk tempat
pelacuran, membiarkan rumah yang disewa dimasuki air karena atapnya bocor atau
pipa air telah rusak, dan menyewa mobil dan memuatnya dengan barang di luar
batas kemampuannya. Tindakan-tindakan ini seperti ini termasuk ke dalam ta’assuf fi isti’mal al-haqq yang
diharamkan syara.
e.
Menggunakan hak dengan tindakan
yang lalai atau salah.
Dalam
menggunakan hak seseorang dituntut untuk berhati-hati. Atas dasar itu, jika
digunakan dengan cara yang tidak hati-hati atau waspada sehingga membawa akibat
mudharat bagi pihak lain, maka tindakan itu termasuk ke dalam ta’assuf fi isti’mal al-haqq yang
dilarang syara’. Kemudharatan yang diakibatkan ketidak hati-hatian, harus
dipertanggungjawabkan.
Pelanggaran hak dan kepentingan orang
lain atau masyarakat umum, sedapat mungkin harus dihindarkan melalui
upaya-upaya preventif, yakni mencegah segala kemungkinan terjadi pelanggaran
terhadap hak. Namun, apabila ta’assuf fi
isti’mal al-haqq benar-benar telah terjadi, dapat diambil beberapa
alternatif tindakan berikut ini:[25]
1.
Menghilangkan
atau melenyapkan segala hal yang nyata-nyata telah menimbulkan mudharat kepada
pihak lain. Misalnya menghentikan pembangunan atau merobohkan bangunan yang
menghalangi pihak tetangga menggunakan haqq
al-Irtifaq mereka.
2.
Membayar
ganti atau kompensasi (denda) sepadan dengan kerugian atau risiko yang
diakibatkan oleh perbuatan ta’assuf fi
isti’mal al-haqq.
3.
Membatalkan
perbuatan tersebut, seperti membatalkan akad nikah tahlil, membatalkan wasiat yang menimbulkan mudharat, atau
menghentikan perbuatan tersebut, seperti menghentikan perbuatan yang
menggangggu ketenteraman masyarakat.
4.
Memberlakukan
sanksi hukuman (ta’zir).
5.
Mengambil
tindakan paksa terhadap pelaku untuk melakukan sesuatu agar kerugian atau
risiko yang ditimbulkan cepat berakhir. Seperti memaksa pelaku ihtikar menjual barang yang ditimbunnya.
Sebagai
pemilik hak, menurut para ulama fiqh, seseorang boleh memindahtangankan haknya
kepada orang lain sesuai dengan cara-cara yang disyariatkan Islam, baik yang
menyangkut hak kehartabendaan, seperti melalui jual beli dan hutang, maupun hak
yang bukan bersifat kehartabendaan, seperti hak perwalian terhadap anak kecil.
Kedua bentuk hak ini boleh dipindahkan kepada pihak lain. Sebab-sebab
pemindahan hak yang disyariatkan Islam itu cukup banyak, seperti melalui suatu
akad (transaksi), melalui pengalihan hutang (al-hiwalah), dan disebabkan wafatnya seseorang.Misalnya, dalam
persoalan wasiat atau hibah, hak yang dipindahkan itu tidak melebihi sepertiga
harta (HR al-Bukhari dan Muslim), menuntut nafkah kepada suami harus sesuai
dengan kemampuan suami, dan melakukan berbagai transaksi harus memenuhi rukun
dan syarat yang ditetapkan syara’.[26]
Para
ulama fiqh menyatakan bahwa suatu hak hanya akan berakhir sesuai dengan ketentuan
yang ditetapkan syara’, dan hal ini boleh berbeda pada setiap jenis hak yang
dimiliki seseorang. Misalnya, hak-hak dalam suatu perkawinan akan berakhir
dengan terjadinya talak, hak milik akan berakhir dengan terjadinya suatu
transaksi jual beli, haqq al-intifa’akan
berakhir apabila akadnya dibatalkan, baik karena telah habis masa berlakunya,
seperti dalam sewa menyewa maupun batal karena terdapatnya cacat atau uzur
dalam akad itu, seperti runtuhnya rumah yang disewa.[27]
BAB III
PENUTUP
Dalam
ajaran islam, hak adalah pemberian ilahi yang disandarkan pada sumber-sumber
yang dijadikan sebagai sandaran dalam menentukan hukum-hukum syara'. Dengan
demikian, sumber hak adalah kehendak atau ketentuan hukum syara', tidak akan ditemukan sebuah
hak syar'i tanpa adanya dalil syar'i yang
mendukungnya
Dengan
demikian, sumber hak adalah Allah SWT, tiada dzat yang berhak untuk
mensyariatkan sesuatu, selain Allah.Tiada syariat yang dijalankan manusia,
kecuali syariat-Nya. Untuk itu, manusia memiliki kewajiban untuk menghormati
hak orang lain. Di samping itu, pemilik hak harus menggunakan haknya secara
proporsional, sehingga tidak menimbulkan kemudlaratan bagi orang lain.
Menurut ulama fiqh hak merupakan hubungan
spesifik antara pemilik hak dan kemaslahatan yang diperoleh dari hak itu
sendiri. hubungan itu dalam syariat Islam tidak bersifat alamiah yang bersumber dari alam dan akal manusia. Sumber hak adalah Allah karena
Allah-lah yang membuat syariat, UU dan hak atas manusia dan seluruh alam. Oleh
sebab itu, hak selalu terkait dengan kehendak Allah dan merupakan anugerahnya.
Jika dalam
menggunakan haknya, seseorang bebas melanggar hak orang lain atau masyarakat
umum, maka perlindungan hak menjadi tidak seimbang. Penggunaan hak secara
berlebihan yang menimbulkan pelanggaran hak dan kerugian terhadap kepentingan orang
lain atau masyarakat umum dalam Islam disebut ta'asuf fi
isti'malilhaqq.
Nasrun
Haroen, Fiqh Muamalah, (Jakarta :
Gaya Media Pratama, 2007), Cet. 2
Al-Jumanatul
‘Ali, Al-qur’an dan Terjemahan, (Bandung: CV Penerbit J-ART, Departemen
Agama RI)
Tengku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Pengantar Fiqh Muamalah, (Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 2009)
Dimyauddin Djuwaini, Pengantar Fiqh Muamalah, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010),
[1] http://www.islamcendekia.com/2014/03/pengertian-hak-dalam-islam.html diakses pada tanggal 20 Maret
2017
[2] Nasrun
Haroen, Fiqh Muamalah, (Jakarta : Gaya
Media Pratama, 2007), Cet. 2, hlm. 1
[3] Ibid.,
hlm. 1.
[4] Al-Jumanatul
‘Ali, Al-qur’an dan Terjemahan, (Bandung: CV Penerbit J-ART, Departemen
Agama RI), hlm. 441.
[5] Nasrun Haroen,
Loc. Cit
[6] Al-Jumanatul
‘Ali, Op. Cit., hlm. 178.
[7] Nasrun Haroen,
Loc. Cit
[8] Al-Jumanatul
‘Ali, Op. Cit., hlm. 40.
[9] Nasrun Haroen,
Op. Cit., hlm. 2.
[10]Al-Jumanatul
‘Ali, Op. Cit., hlm. 214.
[11]Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami
wa Adilatuhu, Jilid IV hlm. 8 dalam Nasrun Haroen, Loc. Cit.
[12]Syaikh ‘Ali al-Khafif, al-Haqq wa az-Zimmah,
(Mesir Dar al-Fikr al-‘Arabi, 1976), hlm. 36 dalam Nasrun Haroen, Ibid.
[13]Mustafa Ahmad az-Zarqa’, al-Madkhal
al-Fiqhi al-‘Am, Jilid III hlm. 10 dalam Nasrun Haroen, Ibid.
[14]Ibnu Nujaim al-Hanafi, al-Ayshbah wa
an-Nazhai’ir, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, tt.), hlm. 87 dalam
Nasrun Haroen, Ibid.
[16] Tengku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Pengantar
Fiqh Muamalah, (Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 2009), hlm. 105.
[19] Dimyauddin Djuwaini, Pengantar Fiqh
Muamalah, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), Cet. 2, hlm. 11-12.
[23]Fathi ad-Duraini, at-Ta’assuf fi
Isti’mal al-Haqq, hlm. 60 dalam Nasrun Haroen, Op.Cit.,
hlm.11.
[26] Fathi ad-Duraini, at-Ta’assuf fi
Isti’mal al-Haqq, hlm. 128 dalam Nasrun Haroen, Op. Cit., hlm.15
Tidak ada komentar:
Posting Komentar