Kamis, 06 April 2017

HAK DALAM ISLAM



MAKALAH
HAK DALAM ISLAM

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Muawadhat Maliyah


Disusun Oleh :
1.     Ardinata                                ( 141403005 )
2.     Masturoh                               ( 141403012 )
3.     Nadiya Nuramaliya              ( 141403015 )

Dosen Pengampu :
Moh. Koidin, M.S.I.

PROGRAM STUDI EKONOMI DAN BISNIS SYARIAH
SEMESTER VI
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM BAKTI NEGARA
(STAIBN) TEGAL
TAHUN AKADEMIK 2016/2017

BAB I

PENDAHULUAN


Hak dan kewajiban adalah sesuatu yang  tidak bisa dilepaskan dari kehidupan manusia. Ketika mereka berhubungan dengan orang lain, maka akan timbul hak dan kewajiban yang mengikat keduanya. Dalam hal jual beli misalnya, ketika kesepakatan telah tercapai, maka akan muncul hak dan kewajiban. Yakni, hak pembeli untuk menerima barang, dan kewajiban penjual untuk menyerahkan barang. Atau kewajiban pembeli untuk menyerahkan harga barang (uang), dan hak penjual untuk menerima uang. Dalam konteks ini, akan dibahas segala sesuatu yang terkait dengan hak.
Dalam konteks ibadah (yang merupakan hak Allah), hak ini dilindungi dengan nilai-nilai agama, seperti janji Allah akan nikmat surga bagi yang menjalankan ibadah-Nya, atau juga berupa ancaman neraka bagi yang meninggalkannya. Di samping itu, terdapat lembaga hisbah yang berfungsi untuk menjalankan amar ma'ruf nahi mungkar.
Dalam pandangan islam yang menjadi pemilik hak adalah Allah SWT, baik yang menyangkut hak keagamaan, pribadi atau hak secara hukum. Dalam fiqh disebut Asy-syakhsyiah al ‘itibaniyah

Dalam makalah ini penulis akan membatasi permasalahan yang akan dipaparkan yaitu sebagai berikut:
1.         Apa pengetian Hak?
2.         Bagaimana sumber atau penyebab terjadinya Hak?
3.         Dan bagaimana akibat hukumnya dari suatu Hak?









BAB II

PEMBAHASAN


Dalam kamus bahasa Indonesia terdapat berbagai sinonim dari kata hak, seperti milik, kewenangan, kekuasaan untuk berbuat sesuatu. Sedangkan menurut istilah hukum umum, pengertian hak dalam hukum adalah kekuasaan untuk melakukan sesuatu karena telah ditentukan oleh undang-undang atau peraturan lain.[1]
Kata Hak berasal dari bahasa Arab al-haqq, yang secara etimologi mempunyai beberapa pengertian yang berbeda, diantaranya berarti milik, ketetapan dan kepastian.[2]
Dalam bahasa Arab juga terdapat banyak arti dari kata hak, seperti ketetapan yang pasti, penjelasan, kebenaran, jatah atau bagian, hakikat, dan kewajiban. Seperti terdapat dalam Al-Qur’an surah Yasin ayat 7:[3]

 “Sesungguhnya telah pasti berlaku perkataan (ketentuan) Allah
 terhadap kebanyakan mereka, karena mereka tidak beriman”.[4]
Al-Haqq diartikan juga dengan menetapkan dan menjelaskan sebagaimana tercantum dalam surah al-Anfal, ayat 8:[5]

 “Agar Allah menetapkan yang hak (Islam) dan membatalkan yang bathil (syirik) ...[6]
Al-Haqq diartikan juga dengan bagian (kewajiban) yang terbatas seperti tercantum dalam surat al-Baqarah ayat 241:[7]

 “Kepada wanita-wanita yang diceraikan (hendaklah diberikan oleh suaminya mut’ah) menurut yang makruf sebagai suatu kewajiban bagi orang-orang yang takwa”.[8]
Al-Haqq diartikan juga dengan kebenaran sebagai lawan dari kebathilan seperti tercantum dalam Alqur’an surat Yunus ayat 35:[9]
.
 “Katakanlah: “Apakah di antara sekutu-sekutumu ada yang menunjuki kepada kebenaran?...[10]
Dalam terminologi fiqih terdapat beberapa pengertian hak yang dikemukakan para ulama fiqh. diantaranya adalah:[11]

 “Suatu hukum yang telah ditetapkan secara syara’”
Definisi ini dikemukakan sebagian ulama mutaakhirin (generasi belakangan) Al Syaikh ‘Ali al-Khafif, tokoh fiqh asal Mesir, mendefinisikannya
dengan:[12]

 “Kemaslahatan yang diperoleh secara syara’”
Mustofa Akhmad az-Zarqa, mendefinisikannya dengan:[13]


 
 “Suatu kekhususan yang padanya ditetapkan syara’ suatu kekuasaan
Lebih singkat lagi, Ibnu Nujaim, tokoh fiqh Hanafi, mendefinisikannya dengan:[14]
ٌ
Suatu kekhususan yang terlindung
Menurut Wahbah al-Zuhaili, pakar fiqh kontemporer dari Syria, definisi yang komprehensif adalah yang dikemukakan oleh Ibn Nujaim dan Mustofa Akhmad az-Zarqa di atas karena kedua definisi itu mencakup berbagai macam hak, seperti Hak Allah terhadap hambaNya (Sholat, puasa, dan lain-lain), hak-hak yang menyangkut perkawinan, hak-ak umum, seperti hak-hak negara, hak-hak harta kebendaan, dan hak-hak non materi seperti hak perwalian atas seseorang.[15]
Berdasarkan definisi yang dikemukakan para ulama fiqh di atas, sumber hak itu adalah syara’, yaitu Allah SWT, karena Dia-lah al-Hakim (pembuat hukum) dan dari-Nyalah datangnya syariat. Oleh sebab itu, hak itu tidak bersumber dari manusia ataupun dari alam.
Sebelum manusia memulai kehidupannya secara bermasyarakat dan belum tumbuh hubungan antara seorang dengan yang lain, maka belum ada pula yang kita namakan hak. Setiap manusia hidup bermasyarakat, bertolong-menolong dalam menghadapi berbagai macam kebutuhan. Untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan itu, seseorang perlu mencari apa yang dibutuhkannya, dari alam atau dari milik orang lain. Maka untuk memelihara kepentingan masing-masing perlu ada norma yang mengatur sehingga tidak melanggar hak orang lain, dan tidak pula merenggut kemerdekaan orang lain.
Nadhariyatul hak atau fikriyatul hak, adalah tata aturan yang mengatur penghidupan manusia. Segenap syariat masa yang telah lalu kemudian diakhiri oleh syariat Islam mengadakan aturan-aturan untuk menentukan hak tersebut. Fiqih Islam telah menetapkan beberapa aturan, beberapa hukum, baik yang merupakan dasar maupun yang merupakan cabang dengan cara yang sangat sempurna yang belum pernah dikenal oleh tasyri’-tasyri’ yang lain.[16]
Para ulama fiqh mengemukakan bahwa rukun hak itu ada dua, yaitu pemilik hak (orang yang berhak) dan objek hak, baik sesuatu yang bersifat materi maupun hutang. Yang menjadi pemilik hak, dalam pandangan syariat Islam adalah Allah Ta’ala, baik yang menyangkut hak-hak keagamaan, hak-hak pribadi, atau hak-hak secara hukum, seperti perserikatan dan yayasan, yang dalam istilah fiqh disebut dengan asy-syakhshiyyah al-i’tibariyyah. Seorang manusia, menurut ketetapan syara’, telah memiliki hak-hak pribadi sejak ia masih janin dan hak-hak itu dapat dimanfaatkannya dengan penuh apabila janin lahir ke dunia dengan selamat. Hak-hak pribadi yang diberikan Allah ini akan habis dengan wafatnya pemilik hak.[17]
Para ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa sumber atau penyebab adanya hak itu adalah syara’. Syaralah yang menjadi sumber asli segala hak dan syara’lah yang menyebabkan seseorang memiliki hak. Namun demikian, ada kalanya syara menetapkan hak-hak itu secara langsung tanpa adanya sebab, seperti perintah untuk melaksanakan berbagai ibadah, perintah untuk memberikan nafkah kepada kerabat, larangan untuk melakukan berbagai bentuk tindak pidana, larangan untuk mengkonsumsi yang diharamkan syara, dan kebolehan untuk memanfaatkan seluruh yang baik. Di samping itu, syara juga menetapkan hak melalui suatu sebab. Artinya, ada sebab yang melatarbelakangi syara’ untuk menetapkan suatu hak. Akibat dari perkawinan ini muncullah hak dan kewajiban membayar nafkah. Istri mempunyai hak untuk dinafkahi suaminya, muncul pula hak waris mewarisi antar suami dan istri, dan lain sebagainya.[18]
Sebelumnya telah dijelaskan bahwa syariat dan aturan hukum merupkan sumber adanya suatu hak. Keduanya sekaligus merupakan sumber utama iltizam, sedangkan sumber yang lain adalah sebagai berikut:[19]
1.      Aqad, yaitu kehendak kedua belah pihak (iradah al-aqidain) untuk melakukan suatu kesepakatan (perikatan), seperti akad jual beli, sewa menyewa dan lainnya.
2.      Iradah al-munfaridah (kehendak sepihak, one side), seperti ketika seseorang mengucapkan sebuah janji atas nazar.
3.      Al-fi’lun nafi’ (perbuatan yang bermanfaat), misalnya ketika seseorang melihat orang lain dalam kondisi yang sangat membutuhkan bantuan atau pertolongan, maka ia wajib berbuat sesuatu sebatas kemampuannya.
4.      Al-fi’lu adl-dlarr (perbuatan yang merugikan), seperti ketika seseorang merusak, melanggar hak atau kepentingan orang lain, maka ia terbebani iltizam atau kewajiban tertentu.
Iltizam adakalanya berlaku atas harta benda (al-maal), terhadap hutang (ad-dain), dan terhadap perbuatan (al-fiil). Iltizam terhadap harta benda harus dipenuhi dengan menyerahkan harta benda kepada shahibul haq. Seperti keharusan penjual menyerahkan barang kepada pembeli dan keharusan pembeli menyerahkan uang kepada penjual.
Iltizam terhadap hutang, pada prinsipnya harus dipenuhi oleh orang yang berhutang secara langsung. Namun dalam kondisi tertentu, hukum Islam memberikan alternatif lain, yakni menggunakan akad hawalah dan kafalah. Iltizam atas suatu perbuatan harus dipenuhi melalui perbuatan yang menjadi mahallul iltizam. Seperti kewajiban seorang pekerja dalam akad ijarah, harus dipenuhi dengan melakukan pekerjaan tertentu, dan lainnya.[20]
Pada prinsipnya, Islam memberikan jaminan perlindungan hak bagi setiap orang. Setiap pemilik hak boleh menuntut pemenuhan haknya. Apabila terjadi pelanggaran atau pengrusakan hak, maka pemilik hak dapat menuntut ganti rugi atau kompensasi yang sepadan dengan haknya.[21]
Para ulama fiqh mengemukakan ada beberapa hukum yang terkait dengan adanya hak itu, yaitu:[22]
1.    Menyangkut pelaksanaan dan penuntutan hak.
Dalam persoalan hak Allah yang berkaitan dengan persoalan ibadah, seseorang harus menunaikannya sesuai dengan ketentuan-ketentuan Allah. Apabila seseorang tidak mau menunaikan hak Allah itu dan hak itu terkait dengan persoalan harta, seperti zakat, maka hakim (penguasa) berhak untuk memaksanya menunaikan zakat. Jika hak Allah itu tidak terkait dengan persoalan harta, maka hakim (penguasa) harus mengajak orang itu untuk menunaikan hak itu dengan menempuh berbagai cara. Jika orang itu tetap tidak mau menunaikan hak Allah itu, Allah akan menurunkan cobaan-cobaan-Nya di dunia ini dan di akhirat ia akan disiksa.
Dalam persoalan hak manusia penunaiannya dilakukan dengan cara mengambilnya dan membayarkannya kepada orang yang berhak menerimanya (pemilik hak). Misalnya, jika seseorang mencuri harta orang lain, maka pencuri itu harus mengembalikan harta itu jika masih utuh atau menggantinya dengan nilai harta itu, jika harta yang dicuri tidak utuh lagi.Yang terpenting dalam kasus seperti ini, menurut para ulama fiqh adalah sifat keadilan dalam pengembalian hak, sehingga masing-masing pihak tidak dirugikan.
2.    Menyangkut pemeliharaan hak
Para ulama fiqh menyatakan bahwa syariat Islam telah menetapkan agar setiap orang berhak untuk memelihara dan menjaga haknya itu dari segala bentuk kesewenangan orang lain, baik yang menyangkut hak-hak kepidanaan maupun hak-hak keperdataan. Apabila harta seseorang dicuri, maka ia berhak menuntut secara pidana dan secara perdata. Tuntutan secara pidana dengan melaksanakan hukuman potong tangan, dan secara perdata menuntut agar harta yang dicuri itu dikembalikan, jika masih utuh dan dan mengganti yang senilai dengan harta yang dicuri jika harta itu telah habis.
3.    Menyangkut penggunaan hak
Para ulama fiqh menyatakan bahwa hak itu harus digunakan untuk hal-hal yang disyariatkan Islam. Atas dasar itu, seseorang tidak boleh menggunakan haknya apabila dalam penggunaan hak itu merugikan atau memberi mudharat kepada pihak lain. Di samping itu, pemilik hak tidak boleh menggunakan haknya secara mubazir. Apabila seseorang membangun rumah di lahannya sendiri, maka bangunan yang akan didirikannya itu tidak boleh sampai menghalangi udara dan cahaya yang masuk ke rumah jirannya, dia tidak boleh membuat jendela apabila berhadapan dengan jendela itu kamar mandi jirannya, atau rumah yang dibangun itu menutup lalu lintas masyarakat untuk sampai ke rumahnya masing-masing, sekalipun jalan itu adalah lahannya.
Perbuatan-perbuatan yang memberi mudharat kepada orang lain, sengaja atau tidak, di dalam fiqh disebut sebagai ta’assuf fi isti’mal al-haqq (sewenang-wenang dalam menggunakan hak). Hal tersebut dilarang oleh syara’.Apabila seseorang menggunakan sesuatu yang bukan haknya, tidak dinamakan dengan ta’assuf fi isti’mal al-haqq, tetapi disebut dengan ta’addi.
Keharaman ta’assuf fi isti’mal al-haqq, menurut para ulama fiqh, disebabkan dua hal, yaitu:[23]
1)      Setiap orang tidak boleh menggunakan haknya dengan sewenang-wenang, sehingga membawa mudharat bagi orang lain. Oleh sebab itu, penggunaan hak itu dalam syariat Islam tidak bersifat mutlak, tetap dibatasi. Batasannya adalah tidak memberi mudharat kepada pihak lain, baik perorangan maupun masyarakat.
2)      Penggunaan hak-hak pribadi tidak hanya untuk kepentingan pribadi belaka, tetapi juga harus mendukung hak-hak masyarakat, karena kekayaan yang dimiliki seseorang merupakan bagian dari kekayaan seluruh manusia. Bahkan dalam keadaan-keadaan tertentu hak-hak pribadi boleh diambil atau dikurangi untuk membantu hak-hak masyrakat, seperti p
3)      engambilan zakat, sedekah, pajak dan infak lainnya. Dalam sebuah hadis Rasulullah saw. Menyatakan:

 “Dalam setiap harta seseorang itu terdapat hak-hak masyarakat  (orang lain) selain zakat”.(HR at-Tirmizi).
Atas dasar itulah, para ulama fiqh menetapkan beberapa kaidah fiqh yang terkait dengan penggunaan hak itu. Kaidah-kaidah dimaksud antara lain:[24]
a.       Maksud membuat kemudharatan
Jika seseorang dalam menggunakan haknya berakibat mudharat kepada pihak lain, maka perbuatannya itu merupakan perbuatan sewenang-wenang dan hukumnya haram, sebagaimana dalam kasus rujuk, wasiat, dan menyusui anak yang memberi mudharat. Atas tindakan ini, menurut para ulama fiqh, konsumen hak secara ta’assuf itu boleh dikenai hukuman ta’zir oleh hakim.
b.      Melaksanakan suatu tindakan yang tidak disyariatkan
Apabila seseorang melaksanakan suatu perbuatan yang tidak disyariatkan dan tidak sesuai dengan kemaslahatan yang ingin dicapai dalam penggunaan hak itu, maka tindakan itu harus dicegah.Jika dilakukan juga, maka hukumnya haram.Misalnya, seseorang mengeksploitasi akad nikah untuk menghalalkan nikah tahlil, sedangkan tujuannya bukanlah untuk nikah secara langgeng.Tetapi, hanya sekedar menghalalkan suami pertama rujuk kepada istrinya yang telah ditalak tiga kali. Tindakan ini diharamkan, sebagaimana sabda Rasulullah saw. yang bunyinya:

“Allah melaknat orang yang melakukan nikah tahlil dan yang memanfaatkan nikah tahlil”.(HR Ahmad ibn Hanbal, at-Tirmizi, an-Nasa I Abu Dawud dan Ibn Majah dari ‘Abdullah ibn Mas’ud).
Demikian juga halnya, dengan memanipulasi akad jual beli untuk tujuan riba. Hal ini juga hukumnya haram sesuai dengan sabda Rasulullah saw. Yang menyatakan:


Suatu saat akan datang suatu zaman, di mana manusia menghalalkan riba dengan kedok jual beli.”(HR Ahmad ibn Hanbal dan Abu Daud dari ‘Abdullah ibn ‘Umar)
c.       Munculnya kemudharatan yang lebih besar ketika menggunakan hak untuk mencapai suatu kemaslahatan.
Jika seseorang pemilik hak menggunakan haknya untuk memperoleh kemaslahatan pribadinya, tetapi akibatnya menimbulkan kemudharatan yang besar kepada pihak lain atau kemaslahatan itu sebanding dengan kemudharatan yang ditimbulkannya, baik kemudharatan itu mengenai hak-hak masyarakat maupun hak-hak pribadi, maka tindakan ini harus dicegah. Hal ini sejalan dengan sabda Rasulullah saw. Yang menyatakan:

“Tidak boleh memudharatkan (orang lain) dan tidak boleh pula dimudharatkan (orang lain)”.(HR Ibn Majah dan al-Daruqutni).
Contohnya seperti praktik ihtikar (penimbunan barang dagangan dengan tujuan menjualnya apabila harga sudah naik, sementara masyarakat sangat memerlukan barang itu)
Termasuk perbuatan yang memberi mudharat kepada masyarakat ini adalah menjual senjata kepada pihak musuh ketika terjadinya perang, menjual senjata kepada perampok, dan menjual anggur kepada pengelola pabrik minuman keras.Dalam kasus-kasus seperti ini, menurut para ulama fiqh, pihak pemerintah berkewajiban untuk mencegah terjadinya hal-hal itu. Hal ini sesuai dengan kaidah fiqh yang menyatakan:
 

“Tindakan seorang penguasa senantiasa untuk kepentingan warganya”.
d.      Penggunaan hak tidak pada tempatnya, sehingga menimbulkan kemudharatan bagi orang lain. Misalnya, membunyikan radio, tape, televisi dengan keras, sehingga mengganggu istirahat jiran, menyewakan rumah untuk tempat pelacuran, membiarkan rumah yang disewa dimasuki air karena atapnya bocor atau pipa air telah rusak, dan menyewa mobil dan memuatnya dengan barang di luar batas kemampuannya. Tindakan-tindakan ini seperti ini termasuk ke dalam ta’assuf fi isti’mal al-haqq yang diharamkan syara.
e.       Menggunakan hak dengan tindakan yang lalai atau salah.
Dalam menggunakan hak seseorang dituntut untuk berhati-hati. Atas dasar itu, jika digunakan dengan cara yang tidak hati-hati atau waspada sehingga membawa akibat mudharat bagi pihak lain, maka tindakan itu termasuk ke dalam ta’assuf fi isti’mal al-haqq yang dilarang syara’. Kemudharatan yang diakibatkan ketidak hati-hatian, harus dipertanggungjawabkan.
Pelanggaran hak dan kepentingan orang lain atau masyarakat umum, sedapat mungkin harus dihindarkan melalui upaya-upaya preventif, yakni mencegah segala kemungkinan terjadi pelanggaran terhadap hak. Namun, apabila ta’assuf fi isti’mal al-haqq benar-benar telah terjadi, dapat diambil beberapa alternatif tindakan berikut ini:[25]
1.    Menghilangkan atau melenyapkan segala hal yang nyata-nyata telah menimbulkan mudharat kepada pihak lain. Misalnya menghentikan pembangunan atau merobohkan bangunan yang menghalangi pihak tetangga menggunakan haqq al-Irtifaq mereka.
2.    Membayar ganti atau kompensasi (denda) sepadan dengan kerugian atau risiko yang diakibatkan oleh perbuatan ta’assuf fi isti’mal al-haqq.
3.    Membatalkan perbuatan tersebut, seperti membatalkan akad nikah tahlil, membatalkan wasiat yang menimbulkan mudharat, atau menghentikan perbuatan tersebut, seperti menghentikan perbuatan yang menggangggu ketenteraman masyarakat.
4.    Memberlakukan sanksi hukuman (ta’zir).
5.    Mengambil tindakan paksa terhadap pelaku untuk melakukan sesuatu agar kerugian atau risiko yang ditimbulkan cepat berakhir. Seperti memaksa pelaku ihtikar menjual barang yang ditimbunnya.
Sebagai pemilik hak, menurut para ulama fiqh, seseorang boleh memindahtangankan haknya kepada orang lain sesuai dengan cara-cara yang disyariatkan Islam, baik yang menyangkut hak kehartabendaan, seperti melalui jual beli dan hutang, maupun hak yang bukan bersifat kehartabendaan, seperti hak perwalian terhadap anak kecil. Kedua bentuk hak ini boleh dipindahkan kepada pihak lain. Sebab-sebab pemindahan hak yang disyariatkan Islam itu cukup banyak, seperti melalui suatu akad (transaksi), melalui pengalihan hutang (al-hiwalah), dan disebabkan wafatnya seseorang.Misalnya, dalam persoalan wasiat atau hibah, hak yang dipindahkan itu tidak melebihi sepertiga harta (HR al-Bukhari dan Muslim), menuntut nafkah kepada suami harus sesuai dengan kemampuan suami, dan melakukan berbagai transaksi harus memenuhi rukun dan syarat yang ditetapkan syara’.[26]
Para ulama fiqh menyatakan bahwa suatu hak hanya akan berakhir sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan syara’, dan hal ini boleh berbeda pada setiap jenis hak yang dimiliki seseorang. Misalnya, hak-hak dalam suatu perkawinan akan berakhir dengan terjadinya talak, hak milik akan berakhir dengan terjadinya suatu transaksi jual beli, haqq al-intifa’akan berakhir apabila akadnya dibatalkan, baik karena telah habis masa berlakunya, seperti dalam sewa menyewa maupun batal karena terdapatnya cacat atau uzur dalam akad itu, seperti runtuhnya rumah yang disewa.[27]









BAB III

PENUTUP


Dalam ajaran islam, hak adalah pemberian ilahi yang disandarkan pada sumber-sumber yang dijadikan sebagai sandaran dalam menentukan hukum-hukum syara'. Dengan demikian, sumber hak adalah kehendak atau ketentuan hukum syara', tidak akan ditemukan sebuah hak syar'i tanpa adanya dalil syar'i yang mendukungnya
Dengan demikian, sumber hak adalah Allah SWT, tiada dzat yang berhak untuk mensyariatkan sesuatu, selain Allah.Tiada syariat yang dijalankan manusia, kecuali syariat-Nya. Untuk itu, manusia memiliki kewajiban untuk menghormati hak orang lain. Di samping itu, pemilik hak harus menggunakan haknya secara proporsional, sehingga tidak menimbulkan kemudlaratan bagi orang lain.
Menurut ulama fiqh hak merupakan hubungan spesifik antara pemilik hak dan kemaslahatan yang diperoleh dari hak itu sendiri. hubungan itu dalam syariat Islam tidak bersifat alamiah  yang bersumber dari alam dan akal manusia. Sumber hak adalah Allah karena Allah-lah yang membuat syariat, UU dan hak atas manusia dan seluruh alam. Oleh sebab itu, hak selalu terkait dengan kehendak Allah dan merupakan anugerahnya.
Jika dalam menggunakan haknya, seseorang bebas melanggar hak orang lain atau masyarakat umum, maka perlindungan hak menjadi tidak seimbang. Penggunaan hak secara berlebihan yang menimbulkan pelanggaran hak dan kerugian terhadap kepentingan orang lain atau masyarakat umum dalam Islam disebut ta'asuf fi isti'malilhaqq.
















Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, (Jakarta : Gaya Media Pratama, 2007), Cet. 2
Al-Jumanatul ‘Ali, Al-qur’an dan Terjemahan, (Bandung: CV Penerbit J-ART, Departemen Agama RI)
Tengku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Pengantar Fiqh Muamalah, (Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 2009)
Dimyauddin Djuwaini, Pengantar Fiqh Muamalah, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010),


[2] Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, (Jakarta : Gaya Media Pratama, 2007), Cet. 2, hlm. 1
[3] Ibid., hlm. 1.
[4] Al-Jumanatul ‘Ali, Al-qur’an dan Terjemahan, (Bandung: CV Penerbit J-ART, Departemen Agama RI), hlm. 441.
[5] Nasrun Haroen, Loc. Cit
[6] Al-Jumanatul ‘Ali, Op. Cit., hlm. 178.
[7] Nasrun Haroen, Loc. Cit
[8] Al-Jumanatul ‘Ali, Op. Cit., hlm. 40.
[9] Nasrun Haroen, Op. Cit., hlm. 2.
[10]Al-Jumanatul ‘Ali, Op. Cit., hlm. 214.
[11]Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adilatuhu, Jilid IV hlm. 8 dalam Nasrun Haroen, Loc. Cit.
[12]Syaikh ‘Ali al-Khafif, al-Haqq wa az-Zimmah, (Mesir Dar al-Fikr al-‘Arabi, 1976), hlm. 36 dalam Nasrun Haroen, Ibid.
[13]Mustafa Ahmad az-Zarqa’, al-Madkhal al-Fiqhi al-‘Am, Jilid III hlm. 10 dalam Nasrun Haroen, Ibid.
[14]Ibnu Nujaim al-Hanafi, al-Ayshbah wa an-Nazhai’ir, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, tt.), hlm. 87 dalam Nasrun Haroen, Ibid.
[15]Wahbah az-Zuhaili, Op. Cit., hlm. 9 dalam Nasrun Haroen, Ibid.
[16] Tengku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Pengantar Fiqh Muamalah, (Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 2009), hlm. 105.
[17] Nasrun Haroen, Op.Cit., hlm. 3.
[18] Ibid., hlm. 8.
[19] Dimyauddin Djuwaini, Pengantar Fiqh Muamalah, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), Cet. 2, hlm. 11-12.
[20] Ibid, hlm. 12.
[21] Ibid.
[22] Wahbah az-Zuhaili, Op. Cit., hlm. 25-26 dalam Nasrun Haroen, Op.Cit., hlm. 8.
[23]Fathi ad-Duraini, at-Ta’assuf fi Isti’mal al-Haqq, hlm. 60 dalam Nasrun Haroen, Op.Cit., hlm.11.
[24]Ibid, hlm. 11-13
[25]Dimyauddin Djuwaini, Op. Cit., hlm. 17
[26] Fathi ad-Duraini, at-Ta’assuf fi Isti’mal al-Haqq, hlm. 128 dalam Nasrun Haroen, Op. Cit., hlm.15
[27] Wahbah az-Zuhaili, Op. Cit., hlm. 63 dalam Nasrun Haroen, Ibid.

Tidak ada komentar: