MAKALAH
TEORI
HAK
Dosen
Pengampu:M.Koidin.,M.SI
Disusun
oleh :
1.
DIKA
TRI KUSUMA A ( 141403007 )
2.
KHORUNNISA
( 141403010 )
3.
MA’RIFAH
( 141403011 )
FAKULTAS EKONOMI SYARIAH
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM BAKTI NEGARA TEGAL
TAHUN
AJARAN 2017
BAB
I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Hak
dan kewajiban adalah sesuatu yang tidak bisa dilepaskan dari kehidupan manusia
. Ketika mereka berhubungan dengan orang lain, maka akan timbul hak dan
kewajiban yang akan mengikat keduanya. Dalam jual beli misalnya, ketika
kesepakatan telah tercapai, maka akan muncul hak dan kewajiban. Yakni hak
pembeli untuk menerima barang, dan kewajiban penjual untuk memberikan barang,
serta hak penjual untuk menerima uang dan kewajiban pembeli untuk memberikan
uang. Dalam konteks ini, akan dibahas segala sesuatu yang terkait dengan
hak. Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an yang artinya: ”Katakanlah,
apakah diantara sekutumu ada yang membimbing kepada kebenaran? Katakanlah,
Allah lah yang membimbing kepada kebenaran. Maka manakah yang berhak untuk
diikuti, tuhan yang membimbing kepada kebenaran itu, ataukah orang-orang yang
tidak mampu membimbing bahkan perlu dibimbing? Maka mengapa kamu (berbuat
demikian)? Bagaimanakah kamu mengambil keputusan.”(QS. Yunus ayat 35)
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apakah
definisi teori hak dalam islam ?
2.
Apa sajakah
jenis-jenis hak?
3.
Apa sajakah
sumber-sumber hak?
4.
Jelaskan Antara Hak dan Iltizam ?
5.
Apakah Akibat
Hukum Suatu Hak?
BAB II
PEMBAHASAN
1. TEORI HAK
DALAM ISLAM
Asal-Usul
Terciptanya Hak
Sebelum
manusia memulai untuk hidup berdampingan dengan sesamanya atau hidup
bermasayarakat dan sebelum tercipitanya hubungan antara seseorang dengan orang
yang lain, mungkin kita tidak akan pernah mendengar apa yang dinamakan dengan hak.
Setiap manusia yang hidup secara bermasyarakat pasti akan
bertolong-menolong dalam menghadapi berbagai macam kegiatan. Kegiatan
tersebut bertujuan untuk memenuhi kepentingan/kepentingan individu
masing-masing, atau bahkan masyarakat. Dalam pada itu, untuk memenuhi
kepentingan/kebutuhan, seseorang bisa mendapatkannya dari alam secara langsung
atau bahkan dari milik orang lain. Ketika seseorang sudah bersinggungan
dengan milik orang lain, maka boleh jadi akan timbul
pertentangan-pertentangan kehendak yang dapat berujung pada pertikainan kedua
belah pihak. Maka untuk memelihara kepentingan masing-masing perlu ada suatu
peraturan yang mengatur batas-batas kepentingan seseorang di dalam hidup
bermasayrakat. Artinya, peraturan itu ada agar seseorang mengetahui
apa yang menjadi hak-nya dan sebaliknya, sehingga ia tidak akan melanggar
hak orang lain. [1]
Dalam bahasa
Arab lafal “hak” berasal dari kata: haqqa-yahiqqu-haqqah
yang sinonimnya: shahha wa tsabata wa
shadaqa (sah, tetap atau pasti dan benar).
Menurut
pengertian umum hak ialah suatu ketentuan yang digunakan oleh syara’ untuk
menetapkan suatu kekuasaan atau sesuatu beban hukum.
Sedangkan
secara etimologi pengertian yang bersumber Alqur’an hak dapat berarti
menetapkan, keadilan lawan dari kedzaliman , kebenaran lawan dari kebatilan.
Terdapat pada surat Al-anfal: 8, Al-mu’min: 20, Al-israa’, Al-baqarah:241, Al
ma’arij: 24-25, Yaasin: 7.
Salah satu contoh al-haqq diartikan dengan menetapkan dan
menjelaskan tercantum dalam surah al-Anfal ayat 8 :
لِيُحِق الْحَق وَيُبْطِلَ الْبَا
طِلَ . . .
“Agar Allah menetapkan yang hak (Islam) dan
membatalkan yang batil (Syirik)…”[2]
Hak dan kewajiban adalah sesuatu yang tidak bisa
dilepaskan dari kehidupan manusia. Ketika mereka berhubungan dengan orang lain,
maka akan tumbul hak dan kewajiban yang mengikat keduanya. Dalam hal jual beli
misalnya, ketika kesepakatan telah tercapai, maka akan muncul hak dan
kewajiban. Yakni, hak pembeli untuk menerima barang, dan kewajiban penjual
untuk menyerahkan barang. Atau, kewajiban pembeli untuk menyerahkan harga
barang (uang), dan hak penjual untuk menerima uang. Dalam konteks ini, akan
dibahas segala sesuatu yang terkait dengan hak.
Kata hak berasal dari bahasa
Arab 'haqq' yang memiliki beberapa makna. Di antaranya,
hak bermakna 'ketetapan' atau 'kewajiban' hal ini bisa dipahami dari firman
Allah dalam QS. Al Anfal:8 atau juga dalam QS. Yunus:35
Secara istilah, hak memiliki
beberapa pengertian dari para ahli fiqh. Menurut ulama kontemporer Ali Khofif,
hak adalah sebuah kemashlahatan yang boleh dimiliki secara syar'i. Menurut
Mustafa Ahmad Zarqa , hak adalah sebuah keistimewaan yang
dengannya syara' menetapkan sebuah kewenangan (otoritas) atau
sebuah beban (taklif). (Zuhaili, 1989, IV, hal.9)
Dalam definisi ini, hak masuk dalam
ranah religi, yakni hak Allah atas hamba-Nya untuk beribadah, seperti shalat,
puasa, zakat dan lainnya. Atau juga masuk dalam hak kehidupan madani, seperti
hakkepemilikan, atau hak yang bersifat etik, seperti hak untuk ditaati bagi
orang tua, hak untuk dipathi seorang isteri bagi seorag suami. Atau juga masuk
dalam ranah publik, seperti hak pemerintah untuk dipatuhi rakyatnya, atau
hak-hak finansial, seperti hak menerima nafkah, dan lainnya.
Kata kewenangan dalam defiisi di
atas, adakalanya berhubungan dengan seseorang, seperti hak untuk dirawat (hadlanah)
atau juga berhubungan dengan sesuatu yang definitif, seperti hak kepemilikan.
Sedangkan kata 'taklif'adakalanya merupakan sebuah kewajiban atas
diri manusia yang bersifat finansial, seperti membayar hutang, atau
merealisasikan sebuah tujuan tertentu, seperti seoarang pekerja yang harus
menyelesaikan pekerjaannya.
Dalam ajaran islam, hak adalah
pemberian ilahi yang disandarkan pada sumber-sumber yang dijadkan sebagai
sandaran dalam menentukan hukum-hukum syara' . Dengan
demikian, sumber hak adalah kehendak atau ketentuan hukum syara'. tidak
akan ditemukan sebuah hak syar'i tanpa adanya dalil syar'i yang
mendukungnya.
Dengan demikian, sumber hak adalah
Allah SWT, karena tiada haim selain dia, tiada dzat yang berhak untuk
mensyariatkan sesuatu, selain Allah.Tiada syariat yang dijalankan manusia,
kecuali syariat-Nya. Untuk itu, manusia memiliki kewajiban untuk menghormati
hak orang lain. Di samping itu, pemilik hak harus menggunakan haknya secara
proporsional, sehingga tidak menimbulkan kemudlaratan bagi orang lain
2. JENIS JENIS HAK
·
Hak Allah
Adalah hak-hak yang dimaksudkan
untuk mendekatkan diri kepada Allah, menyembah dan mengabdi pada-Nya,
menegakkan syariat agama-Nya. Seperti segala bentuk ritual ibadah yang beragam,
dari shalat, puasa, zakat, haji,amar ma'ruf nahi mungkar, dan ibadah lain
yang sejenis. Atau bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan dan
kemanfaatan bagi masyarakat publik yang tidak dikhususkan ada individu
tertentu, seperti penegakkan hukum potong tangan bagi pencuri, penegakkan hukum
atau had bagi para pezina, pemabuk atau pelaku tindak kriminal
lainnya.
Hak Allah ini tidak bisa dilanggar
ataupun digugurkan, tidak bisa ditolerir taupun dirubah. Had potong
tangan bagi pencuri, tidak bisa digugurkan hanya arena orang yang kecurian
memaafkan kesalahan pencuri. Selain itu, hak Allah ini tidak bisa diwaiskan.
Ahli waris tidak diwajibkan untuk menanggung ibadajh yang yang ditinggalkan
pewaris, kecuali mendapat wasiat, ahli waris juga tidak akan ditanya tentang
kejahatan dan dosa pewaris.
·
Hak Anak Adam
Adalah hak-hak yang dimaksudkan
untuk menjaga kemashlahatan seseorang. Bisa bersifat umum, seperti menjaga
kesehatan, merawat anak, harta benda, mewujudkan rasa aman, mencegah tindak
kriminal, menghilangkan permusuhan, dan lainnya. Atau bersifat khusus, seprti
menjaga kepemilikan, hak penjual atas harga dan hak pembeli atas obyek
transaksi, hak ganti rugi seseorang yang hartanya dirusak, hak seorang isteri
atas nafkah suami, dan lainnya. Hak anak dam bisa dilepaskan atau
digugurkan dengan alasan tertentu, bisa juga diwariskan.
Hak anak Adam bisa
dikatagorikan dengan hak yang bisa digugurkan dan hak yang tidak bisa
digugurkan. Secara asal, hak anak Adam bisa digugurkan, berbeda dengan dzat
(benda). Seperti qishas dan hak syuf'ah atau hak khiyar. Ada pun hak anak Adam
yang tidak bisa digugurkan adalah sebagai berikut.
- Hak-hak yang belum ditetapkankeberadaannya. Seperti keinginan istri untuk menggugurkan hak nafkahnya di masa mendatan, seorang pembeli yang menafikan hak khiyar ru'yah sebelum melihat obyek transaksi, dan hak lain yang sejenis. Hak ini tidak bisa digugurkan, karena hak tersebut belum ditemukan.
- Hak-hak yang telah ditetapkan syara' yang bersifat mengikat terhadap diri sesorang, seprti hak perwalian seorang ayah atau kakek terhadap anak dan cucunya, perwalian wakif terhadap barang wakaf, dan lainnya.
- Hak-hak yang apabiala digugurkan akan merubah hukum-hukum syara;. seperti hak orang yang memberikan hibah untu merujuk barang yang dihibahkan. Pemilik harta menggugurkan hak kepemilikannyaatas harta sehingga harta tersebut menjadi tidak bertuan. Hal i ni dilarang oleh syaa' ketika dipraktikkan oleh masyarakat jahiliyah. Allah berfirman dalam QS. Al Maidah:103
- Hak-hak yang terkait dengan hak orang lain, seperti hak seorang ibu untuk menerima perawatan, hak orang yang kecurian atas had pencuri. Hak ini tidak bisa digugurkan, karena berhubungan dengan hak orang lain.
Ulama
fiqh sepakat, hak-hak yang dimaksudkan sebagai penguat sebuah transaksi, boleh
untuk diwariskan. Seperti hak untuk menahan marhun (barang yang digadaikan,
jaminan) sampai utang bisa dilunasi, hak menahan obyek transaksi hingga pembeli
menyerahkan uang, hak atas kafalah biddaian. Hak-hak ini bisa diwariskan,
karena bersifat lazim.
Ulama
hanafiyahmenyatakan, hak dan manfaat tidak bisa diwariskan. Karena, hukum waris
hanya terkait dengan harta benda, sedangkan hak dan manfaat bukanlah harta. Ada
pun hutang bisa diwariskan, karena ia merupakan harta secara hukum, dan bisa
ditemukan dalam kekayaanorang yang berhutang. Ulama selain mdzhab Hanafiyah
menyatakan, hak, manfaat dan hutang bisa diwariskan, karena semuanya merupakan
harta. Hal ini dilandaskan pada sabda Rasululullah SAW:"Barang siapa
meningalkan harta atau hak, maka untuk ahli warisnya, dan barang siapa
meninggalkan beban atau keluarga, maka menjadi tanggunganku" (HR. Bukhati
Muslim (Zuhaili, 1989, IV, hal. 18)
·
Hak Musytarak
Persekutuan
antara hak Allah dan hak anak Adam. Namun adakalanya hak Allah yang
dimenangkan, dan sebaliknya. Misalnya masa iddah seorang
isteri yang dicerai, dalam hal ini terdapat dua hak. Hak Allah berupa menjaga
pencampuran nasab, dan hak manusia berupa menjaga nasab anaknya. Dalam konteks
ini, hak Allah dimenangkan, karena menjaga pencampuran nasab lebih umum
kemanfaatannya bagi masyarakat publik.
Contoh
kedua, hak qishas bagi wali orang yang terbunuh. Dlam
hak ini terdapat hak Allah, yakni membebaskan manusia dari tindak kriminal
pembunuhan. Selain itu, terdapat hal wali orang yang terbunuh, yakni
menghilangkan amarah dan kejengkelan, serta menenangkan hatinya dengan matinya
orang yang membunuh keluarganya. Dalam konteks ini, hak anak Adam yang
dimenangkan, karena tendensi diadakannya qishas adalah adanya
persamaan.
Dalam
contoh kedua, hak anak Adam yang dimenangkan. Implikasinya adalah hak tersebut
bisa dinegoisasikan, wali orang yang terbunuh, dibolhkan untuk memaafkan dosa
pembunuh, bisa diupayakan jalan damai dengan kompensasi yang disepakati, atau
jalan lain yang disetujui bersama. (Zuhaili,1989, IV, HAL.13-17).
·
Hak Finansial
Adalah
hak yang terkait dengan harta dan kemanfaatannya, hak yang obyeknya berupa
harta atau manfaat. Seperti hak seorang penjual atas harga barang (uang),
hak seorang pembeli atas obyek transaksi, hak syuf'ah, hak khiyar,hak
penyewa untuk menempati rumah dan lainnya
Adapun
hak non-finansial adalah hak yang terkait dengan segala sesuatu selain harta,
seperti hak qishas, hak untuk hidup bebas, hak wanita untuk
talak karena tdak diberi nafkah, hak sosial atau politik, dan lainnya
·
Hak Sykhsi dan Hak Aini
Hak
syakhsi adalah hak yang ditetapkan syara' untuk kepentingan
seseorang atas orang lain, seperti hak seorang penjual atas diserahkannya harga
barang (uang) atau hak seorang pembeli atas diserahkannya obyek transaksi, hak
seorang atas hutang, kompensasi finansial atas barang yang di ghasab atau
dirusak, hak seorang isteri dan kerabat atas nafkah, atau hak seorang penitip
atas barang yang dititipkan, untuk tidak digunakan oleh orang yang dititipi.
Hak 'aini adalah
kewenangan yang ditetapkan syara' untuk seseorang atas suatu
benda, seperti hak milik. Seorang pemilik benda memiliki kewenangan secara
langsung atas harta benda yang dimilikinya. Ia memiliki kewenangan untuk
memanfaatkan barangnya sesuai dengan kehendaknya, dan memiliki keistimewaan
untuk menghalangi orang lain memanfaatkanya tanpa seizin pemiliknya
Dengan adanya pembagian hak syakhsi dan hak 'aini terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan;
Dengan adanya pembagian hak syakhsi dan hak 'aini terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan;
- Hak 'aini bersifat permanen dan selalu mengikuti pemiliknya, sekalipun benda tersebut telah berada di tangan orang lain. Misalnya, harta milik seseorang telah dicuri lalu dijual kepada orang lain, maka pemilik seh harta tersebut bisa menuntut agar barang dikembalikan kepadanya
- Materi hak 'aini dapat berpindah tangan, sedang hak syakhsi tidak dapat berpindah tangan, melainkan melekat pada pribadi sebagai sebuah tanggung jawab atau kewajiban
- hak 'aini gugur apabila materi (obyek) hak hancur atau musnah, sedangkan syakhsi tidak akan gugur dengan hancur atau musnahnya materi. Karena hak syakhsi melekat pada diri seseorang kecuali pemilik hak meninggal. Misalnya, hak syakhsi dalam hutang piutang barang,sekali pun barang yang di hutang hancur, pemiliknya tetap berhak menagih pelunasan hutang tersebut. (Zuhaili, 1989, IV, hal. 20)
·
Hak Diyani dan Qadlai
Dari
segi kewenangan hakim, hak dibagi menjadi hak diyani (hak
keagamaan) dan hak qadlai (hak kehakiman). Hak diyani adalah
hak-hak yang pelaksanaannya tidak dapat dicampuri atau diintervensi oleh kekuasaan
negara atau kehakiman. Misalnya, dalam hal hutang ayau transaksi lainnya yang
tidak dapat dibuktikan di depan pengadilan. Sekalipun demikian, di hadapan
Allah tanggung jawab berhutang tetap ada, dan dituntut untuk melunasinya,
sekalipun pengadilan memutuskan ia bebas dari tuntutan hutang.
Sedangkan
hak qadlai adalah seluruh hak yang tunduk di bawah aturan
kekuasaan kehakiman sepanjang si pemilik hak tersebut mampu dan membuktikan
haknya di depan pengadilan.
Selain
unsur lahiriyah. yakni perbuatan, unsur batiniyyah seperti niat dan esensi
(hakikat) merupakan unsur penting dalam hak diyani. Sedangkan
dalam hak qadlai semata dibangun berdasarkan kenyataan
lahiriyah dengan mengabaikan unsur niat dan hakikat suatu perbuatan.
Seorang
suami yang menjatuhkan talak terhadap isterinya secara ceroboh (khoto') dan
tidak dimaksudkan secara sungguh-sungguh untuk menceraikannya, seorang hakim
wajib memvonis hukum talak berdasarkan unsur lahiriyah. Yang demikian
hukum qadlai. Sedang hukum diyani bisa jadi
tidak jatuh talaknya, karena tidak ada niat mentalak. Oleh karena itu seseorang
tidak diperkenankan bermain-main dengan kedua hak ini. (Zuhaili,1989,IV, hal.
22)
3. Antara Hak
dan Iltizam
Substansi
hak sebagai taklif atau keharusan yang terbebankan pada pihak
lain dari sisi penerima dinamakan hak, sedang pelaku disebut iltizam.
Secara bahasa, iltizam bermakna keharusan atau kewajiban.
Sedangkan secara istilah adalah akibat (ikatan) hukum yang mengharuskan pihak
lain berbuat memberikan sesuatu, atau melakukan suatu perbuatan atau tidak
berbuat sesuatu.
Pihak
yang terbebani oleh hak orang lain dinamakan multazim, sedang
pemilik hak dinamakan multazam ataushahibul haqq.
Antara hak dan iltizam terdapat keterkaitn dalam sebuah
hubungan timbal balik antara perbuatan menerima dan memberi. Dari sisi penerima
dinamakan hak, dan dari sisi pemberi dinamakan iltizam.
Dalam
akad mu'awwadahah (saling menerima dan melepaskan) hak dan iltizam berlaku
pada masing-masing pihak. Misalnya dalam akad jual beli, penjual berstatus
sebagai multazim sekaligus sebagai shahibul haqq.
Demikian juga dengan pembeli. Hal yang sama juga berlaku dalam akad ijarah.
Dengan demikian, pihak-pihak yang terlibat dalam akad mu'awwadhah, masing-masing
mempunyai haksebagai penyeimbang atas kewajiban yang dibebankan kepadanya, atau
masing-masing mempunyai kewajiban sebagai penyeimbang atas hak yang
diterimanya.
4.
Sumber-Sumber Hak
Sebelumnya
telah dijelaskan bahwa syariatdan aturan hukum merupakan sumber adanya suatu
hak. Keduanya sekaligus merupakan sumber utama iltizam, sedangkan sumber yang
lain adalah sebagai berikut;
- Aqad, yaitu kehendak kedua belah pihak (iradah al'aqidaini) untuk melakukan suatu kesepakatan (perikatan), seperti akad jual beli, sewa-menyewa dan lainnya
- Iradah al-munfaridah (kehendak sepihak, one side), seperti ketika seseorang mengucapkan sebuah janji atau nadzar
- Al-fi'lun nafi' (perbuatan yang bermanfaat), misalnya ketika seseorang melihat orang lain dalam kondisi yang sangat membutuhkan bantuan atau pertolongn, maka ia wajib berbuat sesuatu sebatas kemampuannya
- Al-fi'lu al-dlar (perbuatan yang merugikan), seperti ketika seseorang merusak, melanggar hak atau kepentingan orang lain, maka ia terbebani iltizam atau kewajiban tertentu
Iltizam adakalanya berlaku atas harta benda
(al-maal), terhadap hutang (ai-dain) dan terhadap perbuatan
(al-fi'il).Iltizam terhadap harta benda harus dipenuhi
dengan menyerahkan harta benda kepada shahibull haqq. Seperti
keharusan penjual menyerahkan barang kepada pembeli dan keharusan pembeli
menyerahkan harga barang (uang) kepada penjual Iltizam terhadap
utang, pada prinsipnya harus dipenuhi oleh orang yang berhutang secara
langsung. Namun dalam kondisi tertentu, hukum Islam memberikan alternatif lain,
yakni mengunakan akad hawwalah atau kafalah. Iltizamatas
suatu perbuatan harus dipenuhi melalui perbuatan yang menjadi mahallul
iltizam. Seperti kewajiban pekerja dalam akad ijarah, harus
dipenuhi dengan melakukan pekerjaan tertentu, dan lainnya (Zuhaili,1989, IV,
hal.23).[3]
5.
Akibat Hukum Suatu Hak
Para
ulama fiqh mengemukakan ada bebrapa hukum yang terkait dengan adanya hak itu,
yaitu :
- Menyangkut pelaksanaan dan penuntun hak. Para pemilik hak harus mengemukakan hak-haknya itu dengan cara yang disyariatkan. Dalam persoalan hak Allah yang berkaitan dengan persoalan ibadah, seseorang harus menunuaikan dengan ketentuan-ketentuan Allah. Apabila seseorang tidak menunaikan hak kepada Allah itu dan hak itu terkait dengan persoalan harta, seperti zakat, maka hakim (penguasa) berhak untuk memaksakannya menunaikan zakat. Jika hak Allah itu tidak terkait dengan persoalan harta, maka hakim penguasa harus mengajak orang itu untuk menunaikan hak itu untuk menunaikan hak Allah itu dengan berbagai cara. Jika orang tersebut tidak mau menunaikan hak Allah itu, Allah akan menurunkan cobaan-cobaan-Nya di dunia ini dan di akhirat ia akan di siksa. Dalam Persoalan hak manusia penunaiannya dilakukan dengan cara menggambilnya dan membayarkannya kepada orang yang berhak menerimanya (pemilik hak).
- Menyangkut pemeliharaan hak. Para ulama fiqh menyatakan bahwa syariat Islam telah menetapkan agar setiap orang berhak untuk memelihara dan menjaga haknya yaitu dari segala bentuk kesewenangan orang lain, baik yang menyangkut hak-hak kepidanaan maupun keperdataan.
- Menyangkut Penggunaan hak. Para ulama fiqh menyatakan bahwa hak itu harus digunakan untuk hal hal yang di syariatkan Islam. Atas dasar itu, seseorang tidak boleh menggunakan haknya apabila dalam penggunaan hak itu merugikan atau memberi mudharat kepada pihak lain, baiak perorangan maupun masyarakat, baik dengan sengaja memberi mudharat kepada pihak lain maupun tidak disengaja. Disamping itu, pemilik hak tidak boleh menggunakan haknya secara mubadzir. Perbuatan-perbuatan yang memberi kemudharatan kepada orang lain, sengaja dan tidak disengaja, di dalam fiqh disebut sebagai ta’asuf fi isti’mal alhaqq (sewenang-wenang dalam menggunakan hak). Ta’asyuf fi isti’mal al-haq dilarang oleh syara’ apabila seorang menggunakan sesuatu yang bukan haknya, tidak dinamakan ta’asyuf fi siti’aml al-haq, tetapai disebut dengan ta’addi. Keharaman ta’asyuf fi isti’mal al-haq, menurut para ulam fiqh, disebabkan dua hal, yaitu :
- Setiap orang tidak boleh menggunakan haknya dengan sewenag-wenag, sehingga membawa mudharat bagi orang lain. Oleh sebab itu, penggunaan hak itu dalam syariat Islam tidak bersifat mutlak, tetapi di batasi. Batasanyya adalah tidak memberi mudharat kepada pihak lain, baik perorangan maupun masyarakat.
- Penggunaan hak-hak pribadi tidak hanya untuk kepentingan pribadi belaka, tetapi juga harus mendukung hak-hak masyarakat, karena kekayaan yang dimiliki seseorang merupakan bagaian dari kekayaan seluruh manusia. Bahkan dalam keadaan-keadaan tetentu hak-hak pribadi boleh diambil atau dikurangi untuk membantu hak-hak masyarakat, seperti pengambilan zakat, pajak, sedekah, dan infak lainnya. Dalam hadits Rasulullah Saw. Yang artinya : “Dalam setiap harta seseorang terdapat hak-hak masyarakat (orang lain) selain zakat. (HR at-Tirmizi).
Atas dasar itulah, para ulama
fiqh menetapkan bebrapa kaidah fiqh yang tekait dengan penggunaan hak itu.
Kaidah-kaidah yang dimaksud antara lain :
- Maksud membuat kemudharatan. Jika seorang menggunakan haknya berakibat mudharat kepada pihak lain, maka perbuatan itu merupakan perbuatan sewenang-wenang dan hukumnya haram.
- Melakukan tindakan yang tidak disyariatkan apabila seorang tidak melaksanakan suatu perbuatan yang tidak disyariatkan dan tidak sesuai dengan kemaslahatan yang ingin dicapai dalam penggunaan hak itu, maka tindakan itu harus dicegah. Jika dilakukan juga, maka hukumnya haram.
- Munculnya kemudharatan yang lebih besar ketika menggunakan hak untuk mencapai kemaslahatan. Jika seornag pemilik hak itu menggunakan haknya untuk memperoleh kemaslahatan pribadinya., tetapi akibatnya menimbulkan kemudharatan yang besar kepada pihak lain atau kemaslahatan itu sebanding dengan kemudharatan yang ditimbulkannya, baik kemudharatan itu mengenai hak-hak masyarakat maupun hak-hak pribadi, maka tindakan ini harus dicegah. Hal ini sejalan dengan sabda Rasulullah Saw. Yang menyatakan : “tidak boleh memudharatkan (orang lain) dan tidak boleh pula di mudharatkan (orang lain).”(HR. Ibn Majah dan al-Darutni).
- Penggunaan hak tidak pada tempatnya, sehingga menimbulkan kemudharatan bagi orang lain. Jika seseorang menggunakan haknya tidak sesuai pada tempatnya atau bertentangan dan adapt kebiasaan manusia dan tindakan ini memberi kemudharatan kepada pihak lain, maka tindakan itu dilarang dan harus dicegah.
- Menggunakan hak dengan tindakan yang lalai atau salah. Dalam menggunakan hak seorang dituntut untuk berhati-hati. Atas dasar itu, jika digunakan dengana cara yang tidak hati-hati atau waspada sehingga membawa akibat mudharat bagi pihak lain. Maka tindakan itu termasuk kedalam ta’assuf fi isti’aml al-haq yang dilarang syara’. Kemudharatan yang diakibatkan ketidak hati-hatian, harus dipertanggung jawabkan.
Oleh sebab itu, segala bentuk
tindakan dalam menggunakan hak yang menimbulkan bagi orang lain, termasuk
kedalam ta’asyuf fi isti’aml al-haq yang dilarang oleh syara’. Namun demikian,
ada dua keadaan dimana seseorang tidak dinamakan ta’asyuf fi isti’aml al-haq,
yaitu :
- Jika dalam menggunakan hak itu, menurut kebiasaan tidak mungkin menghindarkan kemudharatan bagi pihak lain.
- Jika dalam menggunakan hak itu telah digunakan secara berhati-hati, tetapi menimbulkan mudharata bagi pihak lain, maka juga tidak dinamakan ta’asyuf fi isti’mal al-haq dan tidak dapat diminta pertanggung jawaban.[4]
Pada
prinsipnya, Islam memberikan jaminan perlindungan hak bagi setiap orang. Setipa
pemilik hak boleh menuntut pemenuhan haknya. Apabila terjadi pelanggaran atau
perusakan hak, maka pemilik hak dapat menuntut ganti rugi atau kompensasi yang
sepadan dengan haknya.
Dalam
konteks ibadah (yang merupakan hak Allah), hak ini dilindungi dengan
nilai-nilai agama, seperti janji Allah akan nikmat surga bagi yang menjalankan
ibadah-Nya, atau juga berupa ancaman neraka bagi yang meninggalkannya.
Di
samping itu, terdapat lembaga hisbah yang berfungsi untuk
menjalankan amar ma'ruf nahi mungkar.
Adapun
hak anak Adam juga dilindungi dengan norma agama, seperti kewajiban setiap
insan untuk menghormati hak orang lain atas harta, harga diri, atau darahnya.
Apabila terjadi perselisihan dalam pemenuhan hak, maka pihak pemerintah atau
hakim wajib memaksa pihak tertentu agar memenuhi hak orang lain.
Pada
prinsipnya, Islam memberikan kebebasanbagi setiap pemilik untuk menggunakan
haknya sesuai dengan kehendaknya, sepanjang tidak bertentangan dengan syariat
Oslam. Atas dasar prinsip ini, pemilik hak dilarang mempergunakan haknya untuk
bermaksiat, seperti menghambur-hamburkan uang untuk berjudi atau mabuk-mabukan.
Dalam pandangan Islam, perbuatan tersebut hukumnya haram, dan pelakunya
dipandang berdosa.
Kebebasan
menggunakan hak, selain dibatasi dengan tidak bertentangan dengan syariat Islam
juga dibatasi dengan 'tidak melanggar hak atau merugikan kepentingan orang
lain'. Prinsip perlindungan hak dalam Islam berlaku pada dan untuk semua orang.
Sehingga perlindungan kebebasan dalam menggunakan hak pribadi harus seimbang
dengan perlindungan hak orang lain, terutamaperlindungan hak masyarakat umum.
(Zuhaili,1989, IV, hal.25-29)
Jika
dalam menggunakan haknya, seseorang bebas melanggar hak orang lain atau
masyarakat umum, maka perlindungan hak menjadi tidak seimbang. Penggunaan hak
secara berlebihan yang menimbulkan pelanggaran hak dan kerugian terhadap
kepentingan orang lain atau masyarakat umumn dalam Islam disebut ta'asuf
fi isti'malil haqq.ta'asuf fi isti'malil haqq telah ditegaskan dalam
Islam sebagai perbuatan terlarang dan berdosa. Di antara dalil yang menunjukkan
larangan tersebut adalah sebagai berikut; QS. Al Baqarah:231 dan QS. An Nisa:12
Berdasarkan
ayat ini, seseorang tidak boleh membuat wasiat apabila menimbulkan mudlarat
terhadap ahli warisnya, sekalipun wasiat tersebut merupakan hak bagi setiap
pemilik harta benda. Dalam sebuah hadist yang diriwayatkan Sa'ad bin Abi
Waqqash, ia berkata, aku bertanya kepada Nabi Muhammad SAW. sebagai berikut;"Wahau
Rasulullah, aku adalah seorang yang kaya, aku tidak mempunyai ahli waris
kecuali seorang anak wanita, bolehkah aku bersedekah 2/3 dari hartaku? Nabi
menjawab,"Tidak" aku bertanya lagi kepadanya,"Bagaimana jika aku
bersedekah 1/3 dari hartaku? Mabi menjawab,"Ya boleh, 1/3 adalah cukup
banyak. Sungguh jika engkau tinggalkan ahli warismu dalam keadaan berkecukupan
adalah lebih baik daripada engkau meninggalkan mereka dalam keadaan miskin
sehingga mereka meminta-minta kepada orang lain" (HR Muttafa 'Alaih)
Hadist
ini menafsirkan keumuman QS. An Nisa:12 bahwasannya 1/3 harta merupakan batas
maksimal hak kebebasan wasiat yang tidak menimbulkan kemudlaratan terhadap ahli
waris. Namun pada prinsipnya, hadist tersebut melarang berwasiat yang
menimbulkan kerugian atau resiko terhadap ahli waris. (Mas'adi, 2002, hal
39-41).
Selain didasarkan pada dalil-dalil sebagaimana tersebut di atas, larangan terhadap
ta'asuf fi isti'malil haqq didasarkan pada dua pertimbangan prinsip sebagai berikut;
Selain didasarkan pada dalil-dalil sebagaimana tersebut di atas, larangan terhadap
ta'asuf fi isti'malil haqq didasarkan pada dua pertimbangan prinsip sebagai berikut;
Pertama, pada prinsipnya kebebasan dalam
Islam tidaklah mutlak, melainkan kebebasan yang bertanggung jawab. Yakni
kebebasan menggunakan hak yang disertai sikap bertanggungjawab atas
terpeliharanya hak dan kepentingan oorang lain. Pelaksanaan kebebasan
secara mutlak menimbulkan konsekuensi kebebasan melanggar hak dan kepentingan
orang lain. Hal ini hanya akan menimbulkan perselisihan dan pemusuhan antar
sesama manusia.
Kedua, prinsip tauhid mengajarkan bahwa
Allah adalah pemilik hak sesungguhnya, sedangkan hak yang dimiliki manusia
merupakan amanat Allah yang harus digunakan sebagaimana yang dikehendaki-Nya.
Dalam bahasa sosial, kehendak Allah dapat diterjemahkan sebagai 'kepentingan
atas terpeliharanya kemaslahatan publik'. Oleh karena itu, penggunaan haksama
sekali tidak boleh melanggar hak atau kepentingan masyarakat umum. (Zuhalili.
1989, IV, hal. 31).[5]
BAB
III
PENUTUP
KESIMPULAN
Dalam
ajaran islam,hak adalah pemberian illahi yang di sandarkan pada sumber- sumber
yang di jadikan sebagai sandaran dalam menentukan hukum hukum syara’. Sumber
hak adalah Allah SWT karena tiada hak selain dia.Tiada dzat yang berhak
mensyariatkan sesuatu selain Allah.Tiada syariat yang di jalankan manusia
kecuali syariatnya. Berlebih-lebihan dalam menggunakan hak dilarang oleh Allah
SWT, karena hak-hak yang dimiliki manusia bukanlah hak mutlak namun hak yang
bertanggung jawab, serta hak yang kekal hanyalah milik Allah SWT.
Hak dan kewajiban adalah sesuatu yang tidak bisa
dilepaskan dari kehidupan manusia. Ketika mereka berhubungan dengan orang lain,
maka akan tumbul hak dan kewajiban yang mengikat keduanya. Dalam hal jual beli
misalnya, ketika kesepakatan telah tercapai, maka akan muncul hak dan
kewajiban. Yakni, hak pembeli untuk menerima barang, dan kewajiban penjual
untuk menyerahkan barang. Atau, kewajiban pembeli untuk menyerahkan harga
barang (uang), dan hak penjual untuk menerima uang. Dalam konteks ini, akan
dibahas segala sesuatu yang terkait dengan hak.
DAFTAR
PUSTAKA
Djawaini Dimyauddin.pengantar fiqh muamalah.(Yogyakarta:pustaka
pelajar,2008)
[1] http://irham-anas.blogspot.co.id/2011/04/konsep-hak-dalam-islam.html
diunduh pada tanggal 28 maret 2017 pukul 13.00 wib
[2] http://dkdragneel.blogspot.co.id/2015/11/hak-dalam-fiqih-muamalah.html
di unduh pada tanggal 27 maret 2017 pukul 15.00 wib
[3]
Dimyauddin djawaini.pengantar fiqh muamalah,(Yogyakarta:pustaka
pelajar,2008),hal.5-12
[4] https://auritsniyalfirdaus.wordpress.com/2012/02/07/hak-dalam-islam-nadhriyah-al-huquq/
diunduh pada tanggal 27 maret 2017 pukul 13.35 wib
[5]
Dimyauddin djawaini.pengantar fiqh muamalah,(Yogyakarta:pustaka
pelajar,2008),hal.12-15
Tidak ada komentar:
Posting Komentar