Kamis, 06 April 2017

MAKALAH TEORI HAK


MAKALAH
TEORI HAK


                                               
                               
Dosen Pengampu:M.Koidin.,M.SI

Disusun oleh     :
1.       DIKA TRI KUSUMA A  ( 141403007 )
2.      KHORUNNISA ( 141403010 )
3.      MA’RIFAH ( 141403011 )

FAKULTAS EKONOMI SYARIAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM BAKTI NEGARA TEGAL
TAHUN AJARAN 2017
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG

      Hak dan kewajiban adalah sesuatu yang tidak bisa dilepaskan dari kehidupan manusia . Ketika mereka berhubungan dengan orang lain, maka akan timbul hak dan kewajiban yang akan mengikat keduanya. Dalam jual beli misalnya, ketika kesepakatan telah tercapai, maka akan muncul hak dan kewajiban. Yakni hak pembeli untuk menerima barang, dan kewajiban penjual untuk memberikan barang, serta hak penjual untuk menerima uang dan kewajiban pembeli untuk memberikan uang. Dalam konteks ini, akan dibahas segala sesuatu yang terkait dengan hak. Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an yang artinya: ”Katakanlah, apakah diantara sekutumu ada yang membimbing kepada kebenaran? Katakanlah, Allah lah yang membimbing kepada kebenaran. Maka manakah yang berhak untuk diikuti, tuhan yang membimbing kepada kebenaran itu, ataukah orang-orang yang tidak mampu membimbing bahkan perlu dibimbing? Maka mengapa kamu (berbuat demikian)? Bagaimanakah kamu mengambil keputusan.”(QS. Yunus ayat 35)

B.     RUMUSAN MASALAH
1.   Apakah definisi teori hak dalam islam ?
2.   Apa sajakah jenis-jenis hak?
3.   Apa sajakah sumber-sumber hak?
4.   Jelaskan Antara Hak dan Iltizam ?
5.   Apakah Akibat Hukum Suatu Hak?






BAB II
PEMBAHASAN
1.      TEORI HAK DALAM ISLAM

Asal-Usul Terciptanya Hak
      
Sebelum manusia memulai untuk hidup berdampingan dengan sesamanya atau hidup bermasayarakat dan sebelum tercipitanya hubungan antara seseorang dengan orang yang lain, mungkin kita tidak akan pernah mendengar apa yang dinamakan dengan hak.
      Setiap manusia yang hidup secara bermasyarakat pasti akan bertolong-menolong  dalam menghadapi berbagai macam kegiatan. Kegiatan tersebut bertujuan untuk memenuhi kepentingan/kepentingan  individu masing-masing, atau bahkan masyarakat. Dalam pada itu, untuk memenuhi kepentingan/kebutuhan, seseorang bisa mendapatkannya dari alam secara langsung atau bahkan dari milik orang lain. Ketika seseorang  sudah bersinggungan dengan milik orang lain, maka  boleh jadi akan timbul pertentangan-pertentangan kehendak yang dapat berujung pada pertikainan kedua belah pihak. Maka untuk memelihara kepentingan masing-masing perlu ada suatu peraturan yang mengatur batas-batas kepentingan seseorang di dalam hidup bermasayrakat.  Artinya,  peraturan itu ada agar seseorang mengetahui apa yang menjadi hak-nya dan sebaliknya, sehingga ia tidak akan  melanggar hak orang lain. [1]

Dalam bahasa Arab lafal “hak” berasal dari kata: haqqa-yahiqqu-haqqah yang sinonimnya: shahha wa tsabata wa shadaqa (sah, tetap atau pasti dan benar).
Menurut pengertian umum hak ialah suatu ketentuan yang digunakan oleh syara’ untuk menetapkan suatu kekuasaan atau sesuatu beban hukum.
Sedangkan secara etimologi pengertian yang bersumber Alqur’an hak dapat berarti menetapkan, keadilan lawan dari kedzaliman , kebenaran lawan dari kebatilan. Terdapat pada surat Al-anfal: 8, Al-mu’min: 20, Al-israa’, Al-baqarah:241, Al ma’arij: 24-25, Yaasin: 7.
Salah satu contoh al-haqq diartikan dengan menetapkan dan menjelaskan tercantum dalam surah al-Anfal ayat 8 :
لِيُحِق الْحَق وَيُبْطِلَ الْبَا طِلَ . . .

“Agar Allah menetapkan yang hak (Islam) dan membatalkan yang batil (Syirik)…”[2]

Hak dan kewajiban adalah sesuatu yang  tidak bisa dilepaskan dari kehidupan manusia. Ketika mereka berhubungan dengan orang lain, maka akan tumbul hak dan kewajiban yang mengikat keduanya. Dalam hal jual beli misalnya, ketika kesepakatan telah tercapai, maka akan muncul hak dan kewajiban. Yakni, hak pembeli untuk menerima barang, dan kewajiban penjual untuk menyerahkan barang. Atau, kewajiban pembeli untuk menyerahkan harga barang (uang), dan hak penjual untuk menerima uang. Dalam konteks ini, akan dibahas segala sesuatu yang terkait dengan hak.
Kata hak berasal dari bahasa Arab 'haqq'  yang memiliki beberapa makna. Di antaranya, hak bermakna 'ketetapan' atau 'kewajiban' hal ini bisa dipahami dari firman Allah dalam QS. Al Anfal:8 atau juga dalam QS. Yunus:35
Secara istilah, hak memiliki beberapa pengertian dari para ahli fiqh. Menurut ulama kontemporer Ali Khofif, hak adalah sebuah kemashlahatan yang boleh dimiliki secara syar'i. Menurut Mustafa Ahmad Zarqa , hak adalah sebuah keistimewaan yang dengannya syara' menetapkan sebuah kewenangan (otoritas) atau sebuah beban (taklif). (Zuhaili, 1989, IV, hal.9)
Dalam definisi ini, hak masuk dalam ranah religi, yakni hak Allah atas hamba-Nya untuk beribadah, seperti shalat, puasa, zakat dan lainnya. Atau juga masuk dalam hak kehidupan madani, seperti hakkepemilikan, atau hak yang bersifat etik, seperti hak untuk ditaati bagi orang tua, hak untuk dipathi seorang isteri bagi seorag suami. Atau juga masuk dalam ranah publik, seperti hak pemerintah untuk dipatuhi rakyatnya, atau hak-hak finansial, seperti hak menerima nafkah, dan lainnya.
Kata kewenangan dalam defiisi di atas, adakalanya berhubungan dengan seseorang, seperti hak untuk dirawat (hadlanah) atau juga berhubungan dengan sesuatu yang definitif, seperti hak kepemilikan. Sedangkan kata 'taklif'adakalanya merupakan sebuah kewajiban atas diri manusia yang bersifat finansial, seperti membayar hutang, atau merealisasikan sebuah tujuan tertentu, seperti seoarang pekerja yang harus menyelesaikan pekerjaannya.
Dalam ajaran islam, hak adalah pemberian ilahi yang disandarkan pada sumber-sumber yang dijadkan sebagai sandaran dalam menentukan hukum-hukum syara' . Dengan demikian, sumber hak adalah kehendak atau ketentuan hukum syara'. tidak akan ditemukan sebuah hak syar'i tanpa adanya dalil syar'i yang mendukungnya.
Dengan demikian, sumber hak adalah Allah SWT, karena tiada haim selain dia, tiada dzat yang berhak untuk mensyariatkan sesuatu, selain Allah.Tiada syariat yang dijalankan manusia, kecuali syariat-Nya. Untuk itu, manusia memiliki kewajiban untuk menghormati hak orang lain. Di samping itu, pemilik hak harus menggunakan haknya secara proporsional, sehingga tidak menimbulkan kemudlaratan bagi orang lain
2.      JENIS  JENIS HAK
·         Hak Allah
Adalah hak-hak yang dimaksudkan untuk mendekatkan diri kepada Allah, menyembah dan mengabdi pada-Nya, menegakkan syariat agama-Nya. Seperti segala bentuk ritual ibadah yang beragam, dari shalat, puasa, zakat, haji,amar ma'ruf nahi mungkar, dan ibadah lain yang sejenis. Atau bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan dan kemanfaatan bagi masyarakat publik yang tidak dikhususkan ada individu tertentu, seperti penegakkan hukum potong tangan bagi pencuri, penegakkan hukum atau had bagi para pezina, pemabuk atau pelaku tindak kriminal lainnya.
Hak Allah ini tidak bisa dilanggar ataupun digugurkan, tidak bisa ditolerir taupun dirubah. Had potong tangan bagi pencuri, tidak bisa digugurkan hanya arena orang yang kecurian memaafkan kesalahan pencuri. Selain itu, hak Allah ini tidak bisa diwaiskan. Ahli waris tidak diwajibkan untuk menanggung ibadajh yang yang ditinggalkan pewaris, kecuali mendapat wasiat, ahli waris juga tidak akan ditanya tentang kejahatan dan dosa pewaris.
·         Hak Anak Adam
Adalah hak-hak yang dimaksudkan untuk menjaga kemashlahatan seseorang. Bisa bersifat umum, seperti menjaga kesehatan, merawat anak, harta benda, mewujudkan rasa aman, mencegah tindak kriminal, menghilangkan permusuhan, dan lainnya. Atau bersifat khusus, seprti menjaga kepemilikan, hak penjual atas harga dan hak pembeli atas obyek transaksi, hak ganti rugi seseorang yang hartanya dirusak, hak seorang isteri atas nafkah suami, dan lainnya. Hak anak dam  bisa dilepaskan atau digugurkan dengan alasan tertentu, bisa juga diwariskan.
Hak anak Adam  bisa dikatagorikan dengan hak yang bisa digugurkan dan hak yang tidak bisa digugurkan. Secara asal, hak anak Adam bisa digugurkan, berbeda dengan dzat (benda). Seperti qishas dan hak syuf'ah atau hak khiyar. Ada pun hak anak Adam yang tidak bisa digugurkan adalah sebagai berikut.
  • Hak-hak yang belum ditetapkankeberadaannya. Seperti keinginan istri untuk menggugurkan hak nafkahnya di masa mendatan, seorang pembeli yang menafikan hak khiyar ru'yah sebelum melihat obyek transaksi, dan hak lain yang sejenis. Hak ini tidak bisa digugurkan, karena hak tersebut belum ditemukan.
  • Hak-hak yang telah ditetapkan syara' yang bersifat mengikat terhadap diri sesorang, seprti hak perwalian seorang ayah atau kakek terhadap anak dan cucunya, perwalian wakif terhadap barang wakaf, dan lainnya.
  • Hak-hak yang apabiala digugurkan akan merubah hukum-hukum syara;. seperti hak orang yang memberikan hibah untu merujuk barang yang dihibahkan. Pemilik harta menggugurkan hak kepemilikannyaatas harta sehingga harta tersebut menjadi tidak bertuan. Hal i ni dilarang oleh syaa' ketika dipraktikkan oleh masyarakat jahiliyah. Allah berfirman dalam QS. Al Maidah:103
  • Hak-hak yang terkait dengan hak orang lain, seperti hak seorang ibu untuk menerima perawatan, hak orang yang kecurian atas had pencuri. Hak ini tidak bisa digugurkan, karena berhubungan dengan hak orang lain.
Ulama fiqh sepakat, hak-hak yang dimaksudkan sebagai penguat sebuah transaksi, boleh untuk diwariskan. Seperti hak untuk menahan marhun (barang yang digadaikan, jaminan) sampai utang bisa dilunasi, hak menahan obyek transaksi hingga pembeli menyerahkan uang, hak atas kafalah biddaian. Hak-hak ini bisa diwariskan, karena bersifat lazim.
Ulama hanafiyahmenyatakan, hak dan manfaat tidak bisa diwariskan. Karena, hukum waris hanya terkait dengan harta benda, sedangkan hak dan manfaat bukanlah harta. Ada pun hutang bisa diwariskan, karena ia merupakan harta secara hukum, dan bisa ditemukan dalam kekayaanorang yang berhutang. Ulama selain mdzhab Hanafiyah menyatakan, hak, manfaat dan hutang bisa diwariskan, karena semuanya merupakan harta. Hal ini dilandaskan pada sabda Rasululullah SAW:"Barang siapa meningalkan harta atau hak, maka untuk ahli warisnya, dan barang siapa meninggalkan beban atau keluarga, maka menjadi tanggunganku" (HR. Bukhati Muslim (Zuhaili, 1989, IV, hal. 18)

·         Hak Musytarak

Persekutuan antara hak Allah dan hak anak Adam. Namun adakalanya hak Allah yang dimenangkan, dan sebaliknya. Misalnya masa iddah seorang isteri yang dicerai, dalam hal ini terdapat dua hak. Hak Allah berupa menjaga pencampuran nasab, dan hak manusia berupa menjaga nasab anaknya. Dalam konteks ini, hak Allah dimenangkan, karena menjaga pencampuran nasab lebih umum kemanfaatannya bagi masyarakat publik.
Contoh kedua, hak  qishas bagi wali orang yang terbunuh. Dlam hak ini terdapat hak Allah, yakni membebaskan manusia dari tindak kriminal pembunuhan. Selain itu, terdapat hal wali orang yang terbunuh, yakni menghilangkan amarah dan kejengkelan, serta menenangkan hatinya dengan matinya orang yang membunuh keluarganya. Dalam konteks ini, hak anak Adam yang dimenangkan, karena tendensi diadakannya qishas adalah adanya persamaan.
Dalam contoh kedua, hak anak Adam yang dimenangkan. Implikasinya adalah hak tersebut bisa dinegoisasikan, wali orang yang terbunuh, dibolhkan untuk memaafkan dosa pembunuh, bisa diupayakan jalan damai dengan kompensasi yang disepakati, atau jalan lain yang disetujui bersama. (Zuhaili,1989, IV, HAL.13-17).


·         Hak Finansial

Adalah hak yang terkait dengan harta dan kemanfaatannya, hak yang obyeknya berupa harta atau manfaat. Seperti hak seorang penjual atas harga barang  (uang), hak seorang pembeli atas obyek transaksi, hak syuf'ah, hak khiyar,hak penyewa untuk menempati rumah dan lainnya
Adapun hak non-finansial adalah hak yang terkait dengan segala sesuatu selain harta, seperti hak qishas, hak untuk hidup bebas, hak wanita untuk talak karena tdak diberi nafkah, hak sosial atau politik, dan lainnya

·         Hak Sykhsi dan Hak Aini

Hak syakhsi adalah hak yang ditetapkan syara' untuk kepentingan seseorang atas orang lain, seperti hak seorang penjual atas diserahkannya harga barang (uang) atau hak seorang pembeli atas diserahkannya obyek transaksi, hak seorang atas hutang, kompensasi finansial atas barang yang di ghasab atau dirusak, hak seorang isteri dan kerabat atas nafkah, atau hak seorang penitip atas barang yang dititipkan, untuk tidak digunakan oleh orang yang dititipi.
Hak 'aini adalah kewenangan yang ditetapkan syara' untuk seseorang atas suatu benda, seperti hak milik. Seorang pemilik benda memiliki kewenangan secara langsung atas harta benda yang dimilikinya. Ia memiliki kewenangan untuk memanfaatkan barangnya sesuai dengan kehendaknya, dan memiliki keistimewaan untuk menghalangi orang lain memanfaatkanya tanpa seizin pemiliknya

Dengan adanya pembagian hak syakhsi dan hak 'aini terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan;
  • Hak 'aini bersifat permanen dan selalu mengikuti pemiliknya, sekalipun benda tersebut telah berada di tangan orang lain. Misalnya, harta milik seseorang telah dicuri lalu dijual kepada orang lain, maka pemilik seh harta tersebut bisa menuntut agar barang dikembalikan kepadanya
  • Materi hak 'aini dapat berpindah tangan, sedang hak syakhsi tidak dapat berpindah tangan, melainkan melekat pada pribadi sebagai sebuah tanggung jawab atau kewajiban
  • hak 'aini gugur apabila materi (obyek) hak hancur atau musnah, sedangkan syakhsi tidak akan gugur dengan hancur atau musnahnya materi. Karena hak syakhsi melekat pada diri seseorang kecuali pemilik hak meninggal. Misalnya, hak syakhsi dalam hutang piutang barang,sekali pun barang yang di hutang hancur, pemiliknya tetap berhak menagih pelunasan hutang tersebut. (Zuhaili, 1989, IV, hal. 20)
·         Hak Diyani dan Qadlai
Dari segi kewenangan hakim, hak dibagi menjadi hak diyani (hak keagamaan) dan hak qadlai (hak kehakiman). Hak diyani adalah hak-hak yang pelaksanaannya tidak dapat dicampuri atau diintervensi oleh kekuasaan negara atau kehakiman. Misalnya, dalam hal hutang ayau transaksi lainnya yang tidak dapat dibuktikan di depan pengadilan. Sekalipun demikian, di hadapan Allah tanggung jawab berhutang tetap ada, dan dituntut untuk melunasinya, sekalipun pengadilan memutuskan ia bebas dari tuntutan hutang.
Sedangkan hak qadlai adalah seluruh hak yang tunduk di bawah aturan kekuasaan kehakiman sepanjang si pemilik hak tersebut mampu dan membuktikan haknya di depan pengadilan.
Selain unsur lahiriyah. yakni perbuatan, unsur batiniyyah seperti niat dan esensi (hakikat) merupakan unsur penting dalam hak diyani. Sedangkan dalam hak qadlai semata dibangun berdasarkan kenyataan lahiriyah dengan mengabaikan unsur niat dan hakikat suatu perbuatan.

Seorang suami yang menjatuhkan talak terhadap isterinya secara ceroboh (khoto') dan tidak dimaksudkan secara sungguh-sungguh untuk menceraikannya, seorang hakim wajib memvonis hukum talak berdasarkan unsur lahiriyah. Yang demikian hukum qadlai. Sedang hukum diyani bisa jadi tidak jatuh talaknya, karena tidak ada niat mentalak. Oleh karena itu seseorang tidak diperkenankan bermain-main dengan kedua hak ini. (Zuhaili,1989,IV, hal. 22)

3.      Antara Hak dan Iltizam

Substansi hak sebagai taklif atau keharusan yang terbebankan pada pihak lain dari sisi penerima dinamakan hak, sedang pelaku disebut iltizam. Secara bahasa, iltizam bermakna keharusan atau kewajiban. Sedangkan secara istilah adalah akibat (ikatan) hukum yang mengharuskan pihak lain berbuat memberikan sesuatu, atau melakukan suatu perbuatan atau tidak berbuat sesuatu.
Pihak yang terbebani oleh hak orang lain dinamakan multazim, sedang pemilik hak dinamakan multazam ataushahibul haqq. Antara hak dan iltizam terdapat keterkaitn dalam sebuah hubungan timbal balik antara perbuatan menerima dan memberi. Dari sisi penerima dinamakan hak, dan dari sisi pemberi dinamakan iltizam.
Dalam akad mu'awwadahah (saling menerima dan melepaskan) hak dan iltizam berlaku pada masing-masing pihak. Misalnya dalam akad jual beli, penjual berstatus sebagai multazim sekaligus sebagai shahibul haqq. Demikian juga dengan pembeli. Hal yang sama juga berlaku dalam akad ijarah. Dengan demikian, pihak-pihak yang terlibat dalam akad mu'awwadhah, masing-masing mempunyai haksebagai penyeimbang atas kewajiban yang dibebankan kepadanya, atau masing-masing mempunyai kewajiban sebagai penyeimbang atas hak yang diterimanya.

4.      Sumber-Sumber Hak   

Sebelumnya telah dijelaskan bahwa syariatdan aturan hukum merupakan sumber adanya suatu hak. Keduanya sekaligus merupakan sumber utama iltizam, sedangkan sumber yang lain adalah sebagai berikut;
  • Aqad, yaitu kehendak kedua belah pihak (iradah al'aqidaini) untuk melakukan suatu kesepakatan (perikatan), seperti akad jual beli, sewa-menyewa dan lainnya
  • Iradah al-munfaridah (kehendak sepihak, one side), seperti ketika seseorang mengucapkan sebuah janji atau nadzar
  • Al-fi'lun nafi' (perbuatan yang bermanfaat), misalnya ketika seseorang melihat orang lain dalam kondisi yang sangat membutuhkan bantuan atau pertolongn, maka ia wajib berbuat sesuatu sebatas kemampuannya
  • Al-fi'lu al-dlar (perbuatan yang merugikan), seperti ketika seseorang merusak, melanggar hak atau kepentingan orang lain, maka ia terbebani iltizam atau kewajiban tertentu
Iltizam adakalanya berlaku atas harta benda (al-maal), terhadap hutang (ai-dain) dan terhadap perbuatan (al-fi'il).Iltizam terhadap harta benda harus dipenuhi dengan menyerahkan harta benda kepada shahibull  haqq. Seperti keharusan penjual menyerahkan barang kepada pembeli dan keharusan pembeli menyerahkan harga barang (uang) kepada penjual Iltizam terhadap utang, pada prinsipnya harus dipenuhi oleh orang yang berhutang secara langsung. Namun dalam kondisi tertentu, hukum Islam memberikan alternatif lain, yakni mengunakan akad hawwalah atau kafalah. Iltizamatas suatu perbuatan harus dipenuhi melalui perbuatan yang menjadi mahallul iltizam. Seperti kewajiban pekerja dalam akad ijarah, harus dipenuhi dengan melakukan pekerjaan tertentu, dan lainnya (Zuhaili,1989, IV, hal.23).[3]

5.      Akibat Hukum Suatu Hak

Para ulama fiqh mengemukakan ada bebrapa hukum yang terkait dengan adanya hak itu, yaitu :
  1. Menyangkut pelaksanaan dan penuntun hak. Para pemilik hak harus mengemukakan hak-haknya itu dengan cara yang disyariatkan. Dalam persoalan hak Allah yang berkaitan dengan persoalan ibadah, seseorang harus menunuaikan dengan ketentuan-ketentuan Allah. Apabila seseorang tidak menunaikan hak kepada Allah itu dan hak itu terkait dengan persoalan harta, seperti zakat, maka hakim (penguasa) berhak untuk memaksakannya menunaikan zakat. Jika hak Allah itu tidak terkait dengan persoalan harta, maka hakim penguasa harus mengajak orang itu untuk menunaikan hak itu untuk menunaikan hak Allah itu dengan berbagai cara. Jika orang tersebut tidak mau menunaikan hak Allah itu, Allah akan menurunkan cobaan-cobaan-Nya di dunia ini dan di akhirat ia akan di siksa. Dalam Persoalan hak manusia penunaiannya dilakukan dengan cara menggambilnya dan membayarkannya kepada orang yang berhak menerimanya (pemilik hak).
  2. Menyangkut pemeliharaan hak. Para ulama fiqh menyatakan bahwa syariat Islam telah menetapkan agar setiap orang berhak untuk memelihara dan menjaga haknya yaitu dari segala bentuk kesewenangan orang lain, baik yang menyangkut hak-hak kepidanaan maupun keperdataan.
  3. Menyangkut Penggunaan hak. Para ulama fiqh menyatakan bahwa hak itu harus digunakan untuk hal hal yang di syariatkan Islam. Atas dasar itu, seseorang tidak boleh menggunakan haknya apabila dalam penggunaan hak itu merugikan atau memberi mudharat kepada pihak lain, baiak perorangan maupun masyarakat, baik dengan sengaja memberi mudharat kepada pihak lain maupun tidak disengaja. Disamping itu, pemilik hak tidak boleh menggunakan haknya secara mubadzir. Perbuatan-perbuatan yang memberi kemudharatan kepada orang lain, sengaja dan tidak disengaja, di dalam fiqh disebut sebagai ta’asuf fi isti’mal alhaqq (sewenang-wenang dalam menggunakan hak). Ta’asyuf fi isti’mal al-haq dilarang oleh syara’ apabila seorang menggunakan sesuatu yang bukan haknya, tidak dinamakan ta’asyuf fi siti’aml al-haq, tetapai disebut dengan ta’addi. Keharaman ta’asyuf fi isti’mal al-haq, menurut para ulam fiqh, disebabkan dua hal, yaitu :
  • Setiap orang tidak boleh menggunakan haknya dengan sewenag-wenag, sehingga membawa mudharat bagi orang lain. Oleh sebab itu, penggunaan hak itu dalam syariat Islam tidak bersifat mutlak, tetapi di batasi. Batasanyya adalah tidak memberi mudharat kepada pihak lain, baik perorangan maupun masyarakat.
  • Penggunaan hak-hak pribadi tidak hanya untuk kepentingan pribadi belaka, tetapi juga harus mendukung hak-hak masyarakat, karena kekayaan yang dimiliki seseorang merupakan bagaian dari kekayaan seluruh manusia. Bahkan dalam keadaan-keadaan tetentu hak-hak pribadi boleh diambil atau dikurangi untuk membantu hak-hak masyarakat, seperti pengambilan zakat, pajak, sedekah, dan infak lainnya. Dalam hadits Rasulullah Saw. Yang artinya : “Dalam setiap harta seseorang terdapat hak-hak masyarakat (orang lain) selain zakat. (HR at-Tirmizi).
Atas dasar itulah, para ulama fiqh menetapkan bebrapa kaidah fiqh yang tekait dengan penggunaan hak itu. Kaidah-kaidah yang dimaksud antara lain :
  1. Maksud membuat kemudharatan. Jika seorang menggunakan haknya berakibat mudharat kepada pihak lain, maka perbuatan itu merupakan perbuatan sewenang-wenang dan hukumnya haram.
  2. Melakukan tindakan yang tidak disyariatkan apabila seorang tidak melaksanakan suatu perbuatan yang tidak disyariatkan dan tidak sesuai dengan kemaslahatan yang ingin dicapai dalam penggunaan hak itu, maka tindakan itu harus dicegah. Jika dilakukan juga, maka hukumnya haram.
  3. Munculnya kemudharatan yang lebih besar ketika menggunakan hak untuk mencapai kemaslahatan. Jika seornag pemilik hak itu menggunakan haknya untuk memperoleh kemaslahatan pribadinya., tetapi akibatnya menimbulkan kemudharatan yang besar kepada pihak lain atau kemaslahatan itu sebanding dengan kemudharatan yang ditimbulkannya, baik kemudharatan itu mengenai hak-hak masyarakat maupun hak-hak pribadi, maka tindakan ini harus dicegah. Hal ini sejalan dengan sabda Rasulullah Saw. Yang menyatakan : “tidak boleh memudharatkan (orang lain) dan tidak boleh pula di mudharatkan (orang lain).”(HR. Ibn Majah dan al-Darutni).
  4. Penggunaan hak tidak pada tempatnya, sehingga menimbulkan kemudharatan bagi orang lain. Jika seseorang menggunakan haknya tidak sesuai pada tempatnya atau bertentangan dan adapt kebiasaan manusia dan tindakan ini memberi kemudharatan kepada pihak lain, maka tindakan itu dilarang dan harus dicegah.
  5. Menggunakan hak dengan tindakan yang lalai atau salah. Dalam menggunakan hak seorang dituntut untuk berhati-hati. Atas dasar itu, jika digunakan dengana cara yang tidak hati-hati atau waspada sehingga membawa akibat mudharat bagi pihak lain. Maka tindakan itu termasuk kedalam ta’assuf fi isti’aml al-haq yang dilarang syara’. Kemudharatan yang diakibatkan ketidak hati-hatian, harus dipertanggung jawabkan.
Oleh sebab itu, segala bentuk tindakan dalam menggunakan hak yang menimbulkan bagi orang lain, termasuk kedalam ta’asyuf fi isti’aml al-haq yang dilarang oleh syara’. Namun demikian, ada dua keadaan dimana seseorang tidak dinamakan ta’asyuf fi isti’aml al-haq, yaitu :
  1. Jika dalam menggunakan hak itu, menurut kebiasaan tidak mungkin menghindarkan kemudharatan bagi pihak lain.
  2. Jika dalam menggunakan hak itu telah digunakan secara berhati-hati, tetapi menimbulkan mudharata bagi pihak lain, maka juga tidak dinamakan ta’asyuf fi isti’mal al-haq dan tidak dapat diminta pertanggung jawaban.[4]
Pada prinsipnya, Islam memberikan jaminan perlindungan hak bagi setiap orang. Setipa pemilik hak boleh menuntut pemenuhan haknya. Apabila terjadi pelanggaran atau perusakan hak, maka pemilik hak dapat menuntut ganti rugi atau kompensasi yang sepadan dengan haknya.
Dalam konteks ibadah (yang merupakan hak Allah), hak ini dilindungi dengan nilai-nilai agama, seperti janji Allah akan nikmat surga bagi yang menjalankan ibadah-Nya, atau juga berupa ancaman neraka bagi yang meninggalkannya.
Di samping itu, terdapat lembaga hisbah yang berfungsi untuk menjalankan amar ma'ruf nahi mungkar.
Adapun hak anak Adam juga dilindungi dengan norma agama, seperti kewajiban setiap insan untuk menghormati hak orang lain atas harta, harga diri, atau darahnya. Apabila terjadi perselisihan dalam pemenuhan hak, maka pihak pemerintah atau hakim wajib memaksa pihak tertentu agar memenuhi hak orang lain.
Pada prinsipnya, Islam memberikan kebebasanbagi setiap pemilik untuk menggunakan haknya sesuai dengan kehendaknya, sepanjang tidak bertentangan dengan syariat Oslam. Atas dasar prinsip ini, pemilik hak dilarang mempergunakan haknya untuk bermaksiat, seperti menghambur-hamburkan uang untuk berjudi atau mabuk-mabukan. Dalam pandangan Islam, perbuatan tersebut hukumnya haram, dan pelakunya dipandang berdosa.
Kebebasan menggunakan hak, selain dibatasi dengan tidak bertentangan dengan syariat Islam juga dibatasi dengan 'tidak melanggar hak atau merugikan kepentingan orang lain'. Prinsip perlindungan hak dalam Islam berlaku pada dan untuk semua orang. Sehingga perlindungan kebebasan dalam menggunakan hak pribadi harus seimbang dengan perlindungan hak orang lain, terutamaperlindungan hak masyarakat umum. (Zuhaili,1989, IV, hal.25-29)
Jika dalam menggunakan haknya, seseorang bebas melanggar hak orang lain atau masyarakat umum, maka perlindungan hak menjadi tidak seimbang. Penggunaan hak secara berlebihan yang menimbulkan pelanggaran hak dan kerugian terhadap kepentingan orang lain atau masyarakat umumn dalam Islam disebut ta'asuf fi isti'malil haqq.ta'asuf fi isti'malil haqq telah ditegaskan dalam Islam sebagai perbuatan terlarang dan berdosa. Di antara dalil yang menunjukkan larangan tersebut adalah sebagai berikut; QS. Al Baqarah:231 dan QS. An Nisa:12
Berdasarkan ayat ini, seseorang tidak boleh membuat wasiat apabila menimbulkan mudlarat terhadap ahli warisnya, sekalipun wasiat tersebut merupakan hak bagi setiap pemilik harta benda. Dalam sebuah hadist yang diriwayatkan Sa'ad bin Abi Waqqash, ia berkata, aku bertanya kepada Nabi Muhammad SAW. sebagai berikut;"Wahau Rasulullah, aku adalah seorang yang kaya, aku tidak mempunyai ahli waris kecuali seorang anak wanita, bolehkah aku bersedekah 2/3 dari hartaku? Nabi menjawab,"Tidak" aku bertanya lagi kepadanya,"Bagaimana jika aku bersedekah 1/3 dari hartaku? Mabi menjawab,"Ya boleh, 1/3 adalah cukup banyak. Sungguh jika engkau tinggalkan ahli warismu dalam keadaan berkecukupan adalah lebih baik daripada engkau meninggalkan mereka dalam keadaan miskin sehingga mereka meminta-minta kepada orang lain" (HR Muttafa 'Alaih)
Hadist ini menafsirkan keumuman QS. An Nisa:12 bahwasannya 1/3 harta merupakan batas maksimal hak kebebasan wasiat yang tidak menimbulkan kemudlaratan terhadap ahli waris. Namun pada prinsipnya, hadist tersebut melarang berwasiat yang menimbulkan kerugian atau resiko terhadap ahli waris. (Mas'adi, 2002, hal 39-41).

Selain didasarkan pada dalil-dalil sebagaimana tersebut di atas, larangan terhadap
ta'asuf fi isti'malil haqq didasarkan pada dua pertimbangan prinsip sebagai berikut;
Pertama, pada prinsipnya kebebasan dalam Islam tidaklah mutlak, melainkan kebebasan yang bertanggung jawab. Yakni kebebasan menggunakan hak yang disertai sikap bertanggungjawab atas terpeliharanya  hak dan kepentingan oorang lain. Pelaksanaan kebebasan secara mutlak menimbulkan konsekuensi kebebasan melanggar hak dan kepentingan orang lain. Hal ini hanya akan menimbulkan perselisihan dan pemusuhan antar sesama manusia.
Kedua, prinsip tauhid mengajarkan bahwa Allah adalah pemilik hak sesungguhnya, sedangkan hak yang dimiliki manusia merupakan amanat Allah yang harus digunakan sebagaimana yang dikehendaki-Nya. Dalam bahasa sosial, kehendak Allah dapat diterjemahkan sebagai 'kepentingan atas terpeliharanya kemaslahatan publik'. Oleh karena itu, penggunaan haksama sekali tidak boleh melanggar hak atau kepentingan masyarakat umum. (Zuhalili. 1989, IV, hal. 31).[5]


BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Dalam ajaran islam,hak adalah pemberian illahi yang di sandarkan pada sumber- sumber yang di jadikan sebagai sandaran dalam menentukan hukum hukum syara’. Sumber hak adalah Allah SWT karena tiada hak selain dia.Tiada dzat yang berhak mensyariatkan sesuatu selain Allah.Tiada syariat yang di jalankan manusia kecuali syariatnya. Berlebih-lebihan dalam menggunakan hak dilarang oleh Allah SWT, karena hak-hak yang dimiliki manusia bukanlah hak mutlak namun hak yang bertanggung jawab, serta hak yang kekal hanyalah milik Allah SWT.
Hak dan kewajiban adalah sesuatu yang  tidak bisa dilepaskan dari kehidupan manusia. Ketika mereka berhubungan dengan orang lain, maka akan tumbul hak dan kewajiban yang mengikat keduanya. Dalam hal jual beli misalnya, ketika kesepakatan telah tercapai, maka akan muncul hak dan kewajiban. Yakni, hak pembeli untuk menerima barang, dan kewajiban penjual untuk menyerahkan barang. Atau, kewajiban pembeli untuk menyerahkan harga barang (uang), dan hak penjual untuk menerima uang. Dalam konteks ini, akan dibahas segala sesuatu yang terkait dengan hak.




DAFTAR PUSTAKA
Djawaini Dimyauddin.pengantar fiqh muamalah.(Yogyakarta:pustaka pelajar,2008)



[1] http://irham-anas.blogspot.co.id/2011/04/konsep-hak-dalam-islam.html diunduh pada tanggal 28 maret 2017 pukul 13.00 wib
[2] http://dkdragneel.blogspot.co.id/2015/11/hak-dalam-fiqih-muamalah.html di unduh pada tanggal 27 maret 2017 pukul 15.00 wib
[3] Dimyauddin djawaini.pengantar fiqh muamalah,(Yogyakarta:pustaka pelajar,2008),hal.5-12

[5] Dimyauddin djawaini.pengantar fiqh muamalah,(Yogyakarta:pustaka pelajar,2008),hal.12-15

Tidak ada komentar: